Keempat, diprediksi kedepan akan terjadi penundaan investasi di pasar global karena langkanya modal dan bunga yang tinggi. Kelima, minat yang melemah terhadap SBN menyebabkan harganya turun dan yieldnya naik.
Keenam, minat atau porsi kepemilikan asing dalam SBN menurun dari 39,82% (awal 2018) menjadi 36,89% (akhir Sept 2018). Meskipun nilai nominalnya (net) selama 9 bulan ini naik hampir Rp 15 triliun, tentu kenaikan absolut itu tidak berarti apa apa dibandingkan dengan kenaikan utang negara yg sekitar Rp1 triliun perhari. Artinya investor asing jelas sedang meninggalkan Indonesia. Media asing (CNBC Indonesia dan Reuters) melihatnya sebagai prospek ekonomi Indonesia yang kurang cerah.
Ketujuh, naiknya harga BBM dunia seperti minyak Brent yg mencapai USD80 sementara dalam RAPBN 2019 ditaksir USD68,7. Nilai tukar rupiah ditaksir hanya Rp14.400 sementara sekarang sudah Rp15.200. Begitu pula dengan asumsi asumsi makro lain dalam perhitungan RAPBN 2019 yang nampaknya akan meleset, akan semakin menyulitkan pencapaian target target di dalamnya. Dalam tahun anggaran 2018 ini di perkirakan target penerimaan pajak tidak akan tercapai meski mungkin tidak seburuk tahun tahun yang lalu. Tetapi tetap saja mengkawatirkan pemegang SBN Indonesia terhadap kemampuan negara memenuhi kewajiban utang dan bunganya.
Kedelapan, last but not least, dengan membaiknya ekonomi Amerika Serikat maka diprediksi The Fed masih akan menaikkan suku bunga dolar paling tidak dua kali lagi menuju acuan 3,25% yang pastinya akan semakin memperkuat USD dan mendorong pulang kampungnya dolar, meninggalkan pasar negara berkembang seperti Indonesia. Gejala-gejala ini sebenarnya sudah terasa dengan terjadinya capital outflows di pasar modal kita. Padahal selama ini, investasi hot money inilah yang berjasa atau diandalkan membantu memperkuat cadangan devisa kita.
Indikasi dan fakta ini nampaknya akan terus melemahkan kurs rupiah sehingga ceteris paribus, kurs rupiah sedang menuju ke batas psikologis barunya Rp16.000. Setelah mencapai angka itu, kepercayaan pasar menurun dan diperkirakan pasar valas (kurs) akan semakin sulit dikendalikan. Dan pemenangnya atau yang di untungkan adalah mereka pemegang dolar. Kini bola ada di tangan pemerintah dan BI. Semoga mampu mengatasinya.[***]
Penulis: Fuad Bawazier, pengamat ekonomi dan Mantan Menteri Keuangan.