Eramuslim – DI negara lain, pada masa pandemik corona dan new normal, pemerintahnya sibuk menolong rakyat dan bangsanya. Apa apa dimudahkan, kredit, harga energi, harga bahan pokok, semua dimudahkan, bahkan digratiskan.
Tapi di Indonesia tampaknya sibuk ganti ganti pejabat pemerintah dan BUMN yang gagal, yang tidak paham apa yang dikerjakan. Sementara yang menjabat pun ditenggarai bukan yang ahli benar, tapi yang punya kedekatan politik dengan oligarki yang tengah berkuasa.
Kesedihan paling mendalam yang dialami rakyat datang dari sektor energi. Kebijakannya tidak kunjung berpihak. Harga listrik dirasakan naik oleh masyarakat di tengah wabah Covid-19, sementara harga BBM tidak mau turun sedikitpun di saat wabah. Seolah-olah rakyat yang sedang susah diinjak lehernya, hingga tak bisa bernafas. BBM dan listrik adalah kebutuhan rakyat paling dasar.
Bayangkan saja, sudah lima bulan harga minyak mentah di bawah 65 dolar per barel, rata-rata harga minyak mentah selama covid-19 sekitar 40 dolar per barel. Harga minyak mentah bahkan telah turun di bawah 20 dolar. Jauh berada di bawah asumsi APBN 2020.
Sementara APBNP turunan Perppu 1/2020 dan UU 2/2020 tentang Darurat Covid-19, telah menetapkan asumsi harga minyak antara 30 hingga 35 dolar per barel. Tapi harga energi yang dijual ke masyarakat tidak mau turun.
Harga minyak mentah (ICP) adalah patokan dalam menentukan harga BBM dan listrik dalam sistem APBN Indonesia. Jadi kalau harga minyak mentah turun maka turunlah harga listrik dan BBM. Sebaliknya jika harga minyak mentah naik, maka kewajiban APBN mensubsidi listrik dan BBM.
Kalau harga minyak mentah turun sementara pemerintah menetapkan harga BBM dan listrik tetap mahal, maka itu berarti rakyat telah mensubsidi pemerintah dan BUMN. Subdisi oleh negara itu kewajiban, kecuali negara menganut kapitalisme pasar bebas.