Budaya Lapor dan Demokrasi Kita

Eramuslim.com – Gerakan Anti Radikalisme (GAR) alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) melaporkan Prof. Dr. Din Syamsuddin MA ke Komisi Aparatur Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Tuduhannya, dugaan pelanggaran kode etik Pegawai Negeri Sipil karena berpolitik.

KASN menindaklanjuti laporan itu dan melimpahkan kepada Satuan Tugas Penanganan Radikalisme ASN. Shinta Madesari dari GAR mengatakan, KASN telah menyatakan Din Syamsuddin melakukan tindakan radikalisme (TEMPO, 14 Februari)). Lalu, tanggapan pun muncul dari banyak pihak. Banyak yang menyayangkan isu radikalisme dikaitkan dengan sosok Din Syamsuddin.

Tak kurang dari organisasi sekelas Pengurus Besar Nahdatul Ulama ikut berkomentar. Muhammadiyah, yang punya sejarah panjang dengan Din Syamsuddin, telah lebih dulu bicara. Reaksi personal juga ditunjukkan sejumlah tokoh. Sebut saja Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid hingga Guru Besar UIN Jakarta Prof. Azyumardi Azra.

Media sosial berkecamuk. Netizen, seperti biasa, kembali perang narasi. Laporan GAR alumni ITB tersebut pada akhirnya menjadi sumber kegaduhan baru. Gaduh itu muncul karena laporan ini dipandang bertentangan dengan karakter dan rekam jejak Prof. Din Syamsudin. Memori publik rupanya lekat dengan sosok Prefesor yang intelek dan teduh. Jauh dari kesan radikal-radokul.

Selama ini, publik memang mengenal Prof. Din Syamsudin sebagai tokoh lintas agama, yang berpikiran moderat dan konsisten mengampanyekan moderasi Islam. Moderasi Islam adalah salah satu inti ajaran agama Islam yang mengedepankan jalan pertengahan.

Tidak sulit mengaca karakter itu pada sejarah perjalanan hidup Prof Din Syamsudin. Presiden Jokowi sendiri pernah memandatkan Din sebagai utusan khusus Presiden untuk dialog kerjasama antar-peradaban yang melaksanakan Konsultasi Tingkat Tinggi di Bogor pada 2019. Rekam jejak lainnya dengan mudah ditemukan di mesin pencari google atau cukup mengunjungi laman Wikipedia.