Ketiga, sudah terlalu banyak organ, lembaga disekitaran Presiden itu. Secara struktural sudah ada sekretariat negara. Lalu ada lagi namanya KSP (kepala staf presiden). Lalu ada lagi Wantimpres. Lalu ada lagi namanya staf khusus Presiden. Nah ditambah lagi dengan BPIP ini. Pertanyaannya, apa sih kerjaan BPIP ini? Apa tidak cukup Lemhannas RI yang lahir berdasarkan Undang-Undang? Lalu apa standarisasi orang-orang yang duduk di BPIP ini tentang pemahamannya terhadap Pancasila?
Awalnya penulis masih berpikiran positif, bahwa bisa jadi BPIP ini dibentuk untuk mengawal Presiden serta para bawahannya agar menjalankan pemerintahan sesuai dengan Pancasila. Seperti contoh;
Dalam hal penegakan hukum sudah sesuai dengan Pancasila belum? Dalam menggunakan aset dan uang negara sudah sesuai Pancasila belum? Dalam hal ekonomi dan kesejahteraan rakyat sudah sesuai Pancasila belum? Dalam mengelola sumber kekayaan alam negara sudah sesuai apa belum? Atau yang paling sakral, negara dalam memainkan peran sosial pemerintahannya sudah sesuai Pancasila atau belum?
Dan ternyata, keraguan dari awal penulis terjawab sudah dengan blunder pernyataan kepala BPIP hari ini yang mengatakan bahwa, “Musuh terbesar Pancasila itu adalah agama”.
Sontak pernyataan kepala BPIP Yudian Wahyudi yang juga rektor UIN Sunan Kalijaga ini memantik kemarahan masyarakat berbagai kalangan, khususnya ummat Islam yang mayoritas dinegeri ini. MUI langsung mengeluarkan pernyataan keras agar Presiden mencopot ketua BPIP. Fraksi PKS pun melalui wakil ketuanya Dr Almuzzamil juga mengeluarkan pernyataan keras dan tegas. Bahkan Fadli Zon wakil ketua Gerindra meminta BPIP dibubarkan saja.
Pernyataan blunder seorang kepala lembaga terhormat ini telah memantik kemarahan masyarakat. Sebagai alumni Lemhannas atau mungkin siapa saja semasa sekolah dulu sempat mengenyam pelajaran P4 atau PMP pasti akan merasakan sebuah “distorsi” pikiran yang radikal atas pernyataan yang menurut penulis kurang ajar itu.
Pernyataan kepala BPIP tersebut langsung mengingatkan kita kembali kepada prinsip dan doktrin dasar komunis Mao Tse Tung yang mengatakan bahwa, “Agama itu adalah candu”.
Kalau yang menyatakan itu masyarakat awam, kita mungkin hanya cengengesan dan berkata, “Ahh paling dia itu anak keturunan PKI, yang pasti anti Islam”. Tapi bagaimana kalau yang mengeluarkan pernyataan itu adalah kepala BPIP yang digaji besar, dan dari sebuah lembaga yang dibuat sakral dan sakti atau serba paling hebat dan palng tahu tentang Pancasila?
Ada beberapa hal yang mesti kita ingatkan bersama, dampak dari pernyataan ketua BPIP itu.
1. Kenapa yang jadi kepala BPIP itu justru adalah orang yang tak paham dengan Pancasila? Anehkan? Karena kalau kita menterjemahkan maksud komentar kepala BPIP itu, bahwa kebencian terhadap agama, selalu berupaya menjauhkan agama dari kehidupan bernegara, atau parahnya lagi membuat agama adalah sebagai musuh dan ancaman negara itu adalah murni dan konkrit doktrin ala komunis. Awalnya mungkin bertahap bagaimana menjauhkan masyarakat dari agama dengan isu tuduhan radikalisme, dilarang pakai symbol agama, kurikulum pendidikan diganti nilai sekulerisme (memisahkan agama dengan kehidupan), kemudian baru pada titik tertentu doktrin komunis ini bermuara pada sikap anti Tuhan dan benci kepada agama.
2. Pernyataan kepala BPIP yang baru saja dilantik Presiden, bisa dianggap representasi dari pikiran dan ideologi pemerintahan hari ini. Secara lugas, tentu kelompok ini pasti tidak akan mengakui hal ini. Tetapi secara fakta yang kita rasakan saat ini; pengelolaan negara hari ini semakin jauh dari nilai spritualitas keagamaan. Saat ini semakin langka dan hambar kita menemukan bahasa-bahasa keagamaan, nilai spritualitas agama. Padahal bunyi dari sila pertama dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang artiny, ini murni bahasa spritual keagamaan dimana negara ini tidak boleh mengabaikan nilai-nilai dasar Ketuhanan yang bersumberkan kepada agama. Tapi fakta yang terjadi, ada upaya sistematis mau menjadikan aura keagamaan itu seolah sesuatu yang menakutkan, mengerikan, dan kalau seorang nasionalis itu mesti tidak agamais. Atau sebaliknya, kalau orang yang agamais itu di cap pasti tidak nasionalis alias Radikal.