Tidak hanya itu, keahlian digital juga dimanfaatkan untuk melakukan pembungkaman dengan berbagai metode, mulai dari doxing -menyebarkan data pribadi, hingga melakukan teror digital, seperti hack akun sosial media hingga meretas portal laman digital. Varian baru dari ancaman fisik berubah menjadi cybercrime.
Sekurangnya upaya untuk melakukan serangan digital dialami Tempo.co yang berulang kali berbicara tentang perlunya penertiban aktivitas para buzzer dan influencer.
Lebih jauh lagi, sesuai dengan cermatan ICW dalam rilis terkait anggaran pemerintah untuk key opinion leader, menemukan kesimpulan penting (i) penggunaan influencer menjadi shortcut untuk mempengaruhi opini publik, (ii) memperburuk kesehatan demokrasi, sebagai akibat dari kehilangan substansi demokrasi, seiring dengan tertutupnya diskusi publik.
Benang merah dari simpulan sejenis juga diungkapkan LP3ES melalui rilis Pasang Surut Demokrasi Indonesia, mengutip Ziblatt & Levitsky, dalam buku How Democracy Die -2018, bahwa ancaman terhadap demokrasi terjadi ketika (i) komitmen atas aturan main semakin melemah, hingga (ii) terbatasnya ruang gerak kebebasan sipil serta media.
Kedua hal tersebut menjadi realitas dari dunia politik kita hari ini, terlebih ruh oposisi dari mekanisme politik formal menghilang ketika konsolidasi koalisi kekuasaan terbentuk.
Pada kajian LP3ES, pembenahan harus sesegera mungkin dilakukan agar demokrasi terselamatkan, meliputi perbaikan pada kerangka institusional, struktural hingga aspek kultural dan agensi.
Lebih jauh lagi, temuan LP3ES sekaligus memperingatkan kita tentang cengkraman oligarki yang semakin mencuat. Terlebih ketika kekuasaan mulai melindungi dan membentengi dirinya dengan buzzer serta influencer.
Sekali lagi karena gerik laku Bu Tejo adalah wajah kita! [end]
(Penulis: Yudhi Hertanto, Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid)