Hambatan dalam proses komunikasi tersebut adalah potensi missing link informasi. Jarak komunikasi yang semakin meluas, membuat kemungkinan distorsi informasi terjadi. Bisa berkurang, atau semakin bertambah dari informasi awal, atau bahkan berbeda dan berubah dari pesan informasi di bagian awal.
Bila Anda pernah melihat kuis di layar kaca, dengan model “pesan berantai”, maka di bagian akhir penerima pesan diminta untuk mengungkapkan bagaimana bentuk konstruksi pesan awal dari pemberi pesan, maka kerap kali terjadi kehilangan potongan pesan.
Pada jagat digital, hal itu juga terjadi. Di dunia maya, yang mengijinkan user untuk menggunakan identitas semu bahkan anonymous, jelas semakin memperkeruh arus informasi yang tidak mampu diverifikasi. Kelemahan ini, dimanfaatkan untuk menciptakan ruang gema dan ruang simulasi dari kepentingan tertentu.
Tidak mengherankan bila kemudian profesi baru muncul dari dunia baru. Sebut saja, buzzer, influencer, penggiat sosial media, endorser muncul sebagai alat bantu meluaskan jaringan informasi.
Sifatnya organik berbasis sukarela dan kecintaan, tetapi ada juga yang anorganik menjadi semacam iklan pesanan. Berlaku di semua bidang, mulai dari pemasaran produk, politik, branding kandidat hingga pemerintahan.
Kemunduran Demokrasi
Berbagai kenyataan baru hadir bersama perkembangan ruang digital, termasuk kegagalan para pakar menghadirkan pencerahan. Peran kelompok intelektual dan akademisi justru semakin terdegradasi. Kalah lihai dibandingkan mereka yang lincah bermain di sosial media.
Keberadaan para pemimpin opini ini, tidak pelak menjadi pemberi pengaruh yang bisa dimanfaatkan untuk mempertahankan status quo, membalik posisi, menciptakan informasi keliru hingga memainkan berbagai instrumen digital untuk mencetak persepsi publik pada suatu isu tertentu.
Para pelaku digital ini, mampu mengemas konten dan konteks bersesuaian dengan kecenderungan publik yang terbatas dalam melakukan validasi informasi.