Oleh Asyari Usman
Jokowi mungkin merasa dia punya kekuasaan mutlak. Dia bisa lakukan apa saja tanpa ada yang bisa mencegah. Bahkan, sekadar membantah pun tidak ada yang berani.
Jokowi berbohong, dibiarkan. Jokowi memaksakan Omnibus Law Cipta Kerja, disetujui tanpa syarat. Jokowi melemahkan KPK lewat revisi UU tentang lembaga antikorpsi itu, juga diiyakan begitu saja oleh DPR.
Jokowi memaksakan pembangunan IKN (Ibu Kota Nusantara), kereta cepat Jakarta-Bandung, didukung tanpa keberatan. Jokowi menumpuk utang luar negeri, juga disetujui. Tidak ada pengawasan apalagi koreksi.
Intinya, tidak ada yang berani mengatakan “tidak” kepada Jokowi. Sampai akhirnya Jokowi mengacak-acak konstitusi dan peraturan-perundangan agar anaknya, Gibran Rakabuming, bisa ikut pilpres 2024.
Jokowi tidak perduli kalau ada yang mengatakan dia menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) untuk menyeludupkan Gibran menjadi cawapres. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, nekat mempraktikkan nepotisme demi Gibran. Paman Usman mengubah batas minimal usia cawapres menjadi: “minimal berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah”. Gibran pun bisa ikut pilpres.
Tidak ada yang berani menghalangi Jokowi. Semua partai koalisi 02 mendukung pencawapresan Gibran. Semua mereka tunduk pada keinginan Jokowi.
Begitu Gibran ikut pilpres, mulailah banyak orang gerah. Sebagian pendukung kuat dan pengagum Jokowi sendiri juga resah.
Hari ini para cendekiawan kampus merasa tersinggung karena Jokowi ternyata, menurut mereka, memang membiarkan para guru besar menyampaikan kritik tapi dianggap angin lalu. Tak digubris.
Jokowi jalan terus. Nasihat tak didengar, kritik diabaikan. Dia cawe-cawe demi Gibran. Bahkan lebih brutal lagi. Jokowi menyalahgunakan kekuasaan. Dia mengerahkan aparat birokrasi di jajaran Kemendagri dari pusat sampai ke tingkat desa demi kemengan Gibran. Jokowi juga menyalahgunakan Kepolisian demi Gibran.
Tak hanya sampai di situ. Jokowi juga melakukan politisasi Bansos berupa sembako dan BLT (bantuan langsung tunai). Tidak tanggung-tanggung. Jokowi membagi-bagikan BLT hampir 500 triliun. Semuanya membiarkan Jokowi melanggar aturan tentang penyaluran BLT. Tidak ada yang menentang.
Mengapa Jokowi sampai bisa menjadi otoriter? Tidak lain karena dia bisa menguasai DPR. Dia juga menguasai secara mutlak semua lembaga dan instansi penting negara.
Siapa yang bertanggung jawab atas transformasi Jokowi menjadi otoriter? Tentu saja parpol yang membesarkan dia, yaitu PDIP. Dan lebih khusus lagi adalah Ketua Umum Megawatir Soekarnoputri. Bu Mega-lah yang membuat Jokowi berubah drastis dari “presiden wong cilik” menjadi Raja Jawa yang mahir memainkan kekuasaan besar yang ada ditangannya.
Bu Mega yang selama ini selalu pasang badan setiap kali muncul kritik terhadap Jokowi. Dan Bu Mega pula yang selalu mengikuti keinginan politik Jokowi.
Bagaimana dengan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP)? Apakah Menteri Segala Urusan ini juga bertanggung jawab atas keotoriteran Jokowi? Tidak diragukan lagi. Luhut-lah yang juga senantiasa pasang badan kalau ada yang menyoroti langkah-langkah Jokowi. Bagi Luhut, Jokowi itu sempurna. Jokowi presiden terbaik. Dan herannya, hingga saat ini pun Luhut tetap mengatakan Jokowi hebat.
Masih bisakah Jokowi distop? Bisa. Kalau Bu Mega dan jajaran senior PDIP menggulirkan hak angket DPR. Hak angket akan membongkar tuntas semua pelanggaran konstitusi oleh Jokowi dalam proses pilpres 2024 ini. Tapi, mengapa hak angket masih belum juga digulirkan?
Lagi-lagi karena PDIP. Tidak ada keseriusan mereka untuk mencegah Jokowi. Padahal, Bu Mega dan PDIP-lah yang menjadikan Jokowi seperti sekarang ini.[]
1 April 2024
(Jurnais Senior Freedom News)