Bom Cirebon: Fitnah dan Prolog UU Represif?

Oleh Harits Abu Ulya (Pemerhati Kontra-Terorisme & Ketua Lajnah Siyasiyah DPP-HTI)

Bom kembali meledak, tepatnya terjadi hari Jumat 15 April 2011 sekitar jam 12.20 wib dilakukan warga lokal (M. Syarif) di masjid adz Dzikro —di tengah-tengah ibadah solat Jumat, lebih tepatnya saat takbirotul ikrom rakaat pertama Shalat Jumat hendak dimulai— Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Kota Cirebon. Kali ini di duga bom bunuh diri. Dengan sebuah bom low explosive yang di ikatkan di tubuh yang mengakibatkan tewasnya pelaku.

Tidak pelak, akhirnya pemberitaan semua media menempatkan peristiwa bom Cirebon menjadi terdepan. Mengalahkan isu-isu lain yang fundamental dan tidak kalah penting berkaitan dengan persoalan kehidupan bernegara; isu pembangunan gedung DPR, korupsi, Mafia kasus, Century Gate, pasar bebas yang menggulung industri domestic (seperti perjanjian ACFTA), penyanderaan kapal MV Sinar Kudus dengan 20 awaknya oleh perompak, rencana kenaikan harga BBM, dan rencana legislasi RUU Intelijen yang sarat dengan spirit “kekuasaan tiran”. Umat disuguhi pemberitaan yang tendensius dan mengelabuhi, efeknya tidak lagi bisa membedakan antara fakta dengan asumsi, opini, dan propaganda. Dari pemerintah melalui BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), plus para pengamat intelijen dan terorisme mufakat mengembangkan asumsi-asumsi (lebih tepatnya opini dan propaganda) untuk mengkaitkan peristiwa bom Cirebon dengan kelompok Islam tertentu dan visi politik Islam tertentu. Sebuah spekulasi liar yang tidak berpijak pada obyektifitas dan cara pandang yang holistik dalam melihat persoalan terorisme baik dalam konteks global, regional maupun domestik.

Ada persoalan yang harus dijawab berangkat dari peristiwa bom bunuh diri kali ini. Apa motif dari bom bunuh diri? Apakah ini dibenarkan dalam Islam? Apakah bisa di kait-kaitkan dengan kelompok jaringan tertentu dan apakah tidak menutup kemungkinan ini adalah rakayasa? Kemana arah opini di giring dan bermuara? Yang jelas umat Islam menunggu kerja aparat terkait yang transparan dan obyektif serta untuk tidak mudah terjebak kepada stigmasi dan spirit “global war on terrorism” ala Barat Amerika dan sekutunya.

Membaca Motif?

Tindakan “bunuh diri” itu bisa beragam motif atau faktor yang melatar belakangi. Yang mendasar adalah terkait dengan “mafhum” (pemahaman) yang dimiliki seseorang terhadap realitas hidup yang dihadapi dan membutuhkan sikap serta pilihan. Adakalanya karena sebuah keyakinan (ideologi), seperti perilaku “kamikaze” masyarakat Jepang. Dan bom “istisyhad” dilakukan di medan jihad yang dilakukan para mujahidin, sebuah keyakinan (ideologi) menjadi basis penggeraknya. Namun ada juga “balas dendam” akibat akumulasi kekecewaan adalah stimulan tindakan ini. Hal faktual saat ini sistem kehidupan kapitalis-materialisme membuat jebakan lahirnya sosok-sosok pribadi yang rentan dan labil, lahirnya “putus asa” menjadi faktor bunuh diri berikutnya yang paling dominan. Yang tidak boleh dilupakan, sangat mungkin tindakan bunuh diri juga menjadi sebuah aktifitas diluar kendali dan kontrol diri, karena faktor hipnotis atau “control” diluar pelakunya. Adapun masalah cara dan teknis “bunuh diri” juga bisa beragam tergantung pilihan.

Lantas bagaimana dengan bom Cirebon? Yang paling mengetahui motif seorang M. Syarif adalah dirinya dan Allah SWT, tentu tidak fair jika ada upaya menghakimi dan memastikan apa yang menjadi motif hakikinya hanya berdasarkan evident (tanda-tanda) dan jejak perjalanan seorang M. Syarif. Apalagi ada upaya pengkaitan dengan pemikiran atau ideologi tertentu, membaca geneologi pemikiran M. Syarif dengan kelompok dan tokoh-tokoh tertentu dan di kaitkan dengan aktifitas dan tindakan M. Syarif. Sehingga secara sengaja atau tidak, gegabah mengambil kesimpulan untuk menuduh kelompok dan tokoh tertentu menjadi inspirator bagi seorang M. Syarif, bahkan memasukkan kelompok dan tokoh ini adalah bagian dari tindakan M. Syarif. Apakah ideologi, balas dendam, putus asa ataukah M. Syarif adalah ‘pengantin” yang dikendalikan pihak lain menjadi motifnya? Faktanya saat ini motif pergi bersama bekunya jasad M. Syarif.

Tidak diajarkan oleh Islam?

Dalam kajian fiqh jihad, tidak ada perbedaan pendapat kecuali sedikit orang yang menyelisihi. Bahwa tindakan meledakkan diri di Masjid, ditengah-tengah kaum muslimin yang menunaikan kewajiban salat Jumat adalah haram dalam Islam.Syariat Islam melarang dengan tegas seorang muslim melakukan tindakan yang bisa melukai saudara muslim lainya apalagi membunuhnya tanpa ada alasan yang dibenarkan secara syar’I. Apalagi tindakan M. Syarif secara dzahir diarahkan kepada orang-orang yang dzahirnya juga mereka menunjukkan diri sebagai seorang muslim yang hendak menunaikan kewajiban salat Jumat.Maka tidak logis jika tindakan ini dikatakan sebagai “jihad” sekalipun ada yang mencoba membenarkan karena tempat dan sasaranya adalah bagian dari Thagut (kafir) dengan menyandarkan diri kepada Al Qur’an (surat at Taubah;107). Bahkan pihak BNPT dan para pengamat mendramatisir bahwa paradigma dari kelompok “takfiriyah” adalah dasar dari tindakan M. Syarif. Ini upaya mencari pembenaran antara pemikiran “takfiri” relevan dengan tindakan M. Syarif, agar memiliki justifikasi bahwa benar pelakunya terkait dengan jaringan dan kelompok Islam tertentu dengan motif politik tertentu.Padahal sesungguhnya peristiwa bom Cirebon tidak bisa dikaitkan dengan Islam dan perjuangan Islam, karena realitas tindakan bom Cirebon bertentangan dengan tuntunan Syariat Islam itu sendiri.

Terkait kelompok Islam?

Umat Islam sudah hafal, setiap ada peristiwa bom akhirnya Islam dan sebagian umat Islam yang menjadi kambing hitam dan tertuduh. Kali ini juga demikian, pihak BNPT dan para pengamat yang “pro” melalui berbagai media menjadi corong yang massif membangun asumsi dan tuduhan yang tendensius terhadap Islam dan kaum muslimin. Lebih tepatnya umat Islam yang memperjuangkan syariat dan Khilafah menjadi pihak tertuduh sekalipun kadarnya minimal yakni menjadi “inspirator” dan penyubur “radikalisme”.

Apakah tepat hanya karena asumsi yang berangkat dari kajian terhadap material bom kemudian mengqiyaskan(analogikan) demikian mudah bahwa pelakunya terkait jaringan teroris yang ada? Atau di carikan sandaran ideologinya, karena ada sebagian yang memegang prinsip dan sikap “takfiriyah” (mengkafirkan kelompok diluar dirinya) itu adalah menjadi legitimasi tindakan radikal “bunuh diri”, menjadi pembenaran untuk mengkaitkan dengan kelompok tertentu?

Padahal tidak menutup kemungkinan seorang M. Syarif belajar membuat bom secara mandiri (clonning), karena di internet banyak informasi perihal itu. Kemudahan pembuatan terletak pada bahan yang mudah didapatkan. Selain itu unsur bahan hanya berupa adukan sederhana yang biasa digunakan dalam pembuatan mercon. Tidak butuh waktu lama untuk mempelajarinya karena termasuk pelajaran dasar dalam perakitan bom. Dan dalam catatan aparat Densus88, M. Syarif masuk katagori pemain baru, artinya karena tidak memiliki rekam jejak terlibat dan memiliki pengalaman sebagaimana combatan “Ambon” dan “Poso”.

Dengan sosok pribadi yang “labil” dan temperamental, ditambah persoalan pribadi yang komplek; karena terduga dalam kasus pembunuhan seorang kopka Soetejo (Babinsa Kodim Sumber 0620-Cirebon), dan tindakan yang dianggap melanggar hukum lainya. Ini semua mengisaratkan berbagai kemungkinan, apa yang menjadi motifnya; apakah motif dendam, atau bahkan membuka peluang tindakan M. Syarif adalah produk “intelijen” dengan target politik tertentu sekalipun harus dengan melakukan deception (mengorbankan aparat kepolisian).M. Syarif dengan kompleksitas masalah dan karakter yang labil menjadi target “seksi” yang bisa dijadikan “pengantin” dari sebuah operasi. Atau karena pilihan seorang M. Syarif yang “premature” tidak berpijak pada paradigma yang kokoh dan rajih (benar) menggabungkan dirinya dalam entitas “lintas tandzim” yang tidak terikat kepada kelompok tertentu dan bisa menjadi bagian dari aksi-aksi dan agenda keumatan tertentu yang menjadi fokus kelompok-kelompok ormas Islam, akhirnya tindakan M. Syarif layaknya sebuah tindakan dari seorang “srigala kesepian-Alone wolf”.

Opini tendensius?

Peristiwa bom Cirebon, memancarkan gerakan sistemik untuk menggiring umat Islam kepada opini tertentu.

Pertama; ideologi dan visi politik yang melatarbelakangi aksi bom Cirebon adalah Islam dan perjuangan penegakkan syariat Islam dalam bingkai negara. Tentu ini adalah fitnah yang kesekian kali di hadapi oleh umat Islam, tercatat; peristiwa perampokan (tindakan kriminal) Bank CIMB Medan juga dituduh dalam rangka mendirikan “Negara Islam/Daulah Islam”. Kasus Bom Paket juga meuncul propaganda pelakunya adalah orang yang memiliki visi politik penegakkan syariat dan Khilafah, asumsinya karena terlihat dari obyek sasaran adalah orang-orang yang menjadi representasi penghambat perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah.Dan kasus bom Cirebon kali ini juga berulang, padahal sangat sulit menemukan relevansinya antara aksi bom bunuh diri dengan visi politik yang di inginkan. Karena nyata tindakan bom bunuh diri di masjid dengan target orang muslim adalah justru bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, sebuah propaganda yang tendensius cukup kuat aromanya diarahkan kepada kebangkitan Islam Ideologi yang hadir menawarkan solusi terhadap problem komplek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia saat ini.

Kedua; peristiwa bom Cirebon menjadi pemicu lebih kuat untuk segera melahirkan regulasi yang lebih “menggigit” dalam bentuk revisi terhadap UU No. 15 tahun 2003 (Penggulangan Terorisme) dan legislasi RUU Intelijen yang saat ini di bahas oleh DPR. Sebuah alasan klise; kelemahan intelijen yang menjadikan banyaknya kasus “terorisme” tidak kunjung padam. Oleh karena itu perlu ada upaya penguatan di legal frame, adanya payung hukum yang melegitimasi tindakan aparat intelijen untuk melakukan tindakan tidak hanya dilevel analisa dan rekomendasi tapi juga tindakan pre-emptif (dengan menangkap dan mengeliminasi sesuatu yang diangap ancaman). Lagi-lagi pemerintah terjebak dalam arus global “war on terrorism” ala Amerika, menjadikan isu “terorisme” menjadi isu utama dalam kontek kemanan negara, ancaman negara dan musuh dalam negeri. Dan mendorong lahirnya regulasi yang lebih represif untuk memupus semua potensi “terorisme”. Tanpa pernah sadar, bahwa pilihan dan tindakan selama ini justru menjadikan munculnya “state terrorism’ dan menjadi inspirasi kekerasan dan radikalisme tumbuh silih berganti. Negara terlibat lahirnya siklus kekerasan dan terror, dan tidak akan pernah ada jaminan bahwa langkah-langkah yang lebih represif ala demokrasi yang akan dilegalkan melalui proses politik legislasi di parlemen menjadi solusi efektif dalam isu terorisme.

Oleh karena itu, keperluan untuk hadirnya badan intelijen yang baik tidak boleh dijadikan dasar untuk lahirnya sebuah UU yang justru akan menimbulkan kemudzaratan bagi rakyat, khususnya umat Islam, sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru.

Kasus bom Cirebon melahirkan sikap ngototnya pihak tertentu untuk segera disahkannya UU intelijen di tahun 2011, justru melahirkan spekulasi dan pertanyaan; Sangat boleh jadi tindakan ini bertujuan mengadu domba antara kelompok-kelompok Islam dengan pihak kepolisian. Bisa juga makin mematangkan situasi dan kondisi masyarakat menjelang pengesahan RUU intelijen, bahwa RUU memang diperlukan untuk memberikan kewenagan lebih kepada lembaga intelijen guna mengantisipasi peristiwa semacam itu tidak terulang dimasa mendatang. Atau bisa jadi bom Cirebon benar menjadi produk intelijen dengan membajak M. Syarif untuk dijadikan sebagai pengantinnya, dengan target pematangan situasi dan kondisi untuk menstimulasi kerja DPR serta penerimaan DPR terhadap DIM (daftar inventarisasi masalah) terhadap RUU-Intelijen yang diusulkan pemerintah. Sementara dalam usulan pemerintah terlihat spirit menjadikan intelijen sebagai entititas yang akan loyal dan mengabdi kepada kekuasaan (Abuse of Power) bukan mengadi kepada negara.

Orang-orang yang benci kepada Islam dan kaum muslim senantiasa membuat makar, tapi Allah SWT adalah sebaik-baik pembuat makar. Wallahu a’lam bisshowab.