Blok Blokan

Itu sebenarnya mirip saja dengan apa yang sebelum pandemi juga berlaku: rakyat dari negara tertentu dilarang masuk negara tertentu. Misalnya dalam hal Ebola. Banyak negara tidak mau menerima mereka yang dari negara terjangkit Ebola. Juga siapa pun yang baru saja mengunjungi wilayah terjangkit Ebola.

Tiongkok menempuh jalan lain: tetap harus lewat karantina. Siapa pun akan tetap diharuskan masuk karantina. Karantina akan menjadi ‘normal baru’ di Tiongkok.

Di semua kota besar di Tiongkok sedang dibangun gedung karantina manusia. Gedung itu seperti hotel tapi bukan hotel. Seperti rumah sakit tapi bukan rumah sakit. Seperti tempat rekreasi tapi bukan itu. Seperti arena olahraga tapi bukan juga.

Di Guangzhou misalnya, sedang dibangun gedung karantina model baru itu: berkapasitas 5.000 orang. Pun di kota besar lainnya –yang jadi tujuan pendatang dari negara lain.

Sebetulnya itu tidak baru. Setiap negara sudah punya fasilitas karantina hewan. Juga sudah punya karantina tumbuh-tumbuhan. Apa salahnya sekalian ada karantina manusia. Mungkin juga akan ada karantina Taliban –kalau yang satu ini dianggap bukan lagi salah satu dari tiga jenis tadi.

Selama ini karantina Covid-19 itu dilakukan di hotel. Di semua negara. Dimulai oleh Tiongkok. Sekalian memanfaatkan hotel yang lagi kosong. Gedungnya sudah ada. Segala fasilitas sudah tersedia.

Tapi hotel bukanlah tempat karantina yang ideal. Pegawai hotel bukanlah tenaga medis terdidik. Sistem flow manusianya juga tidak untuk mencegah penularan virus.

Tiongkok tidak ikut jalan kebebasan. Ia punya jalannya sendiri.

Pandemi ternyata juga melahirkan blok-blokan.

Dua blok itu terasa mencerminkan pula pemikiran ideologi mereka: kebebasan vs pengendalian.