Big Data, Big Dusta Luhut Pandjaitan

Itu terjadi karena wajah Luhut sedikit banyaknya mencerminkan wajah pemerintahan Jokowi. Selain Menko Marves, Luhut dipercaya presiden memegang sejumlah jabatan penting lainnya. Boleh dibilang, Luhut tangan kanan presiden. Beberapa pihak bahkan menyebutnya dua sejoli.

Anehnya, hingga saat ini tak ada respon Jokowi menyikapi polemik big data. Padahal, campur tangan presiden diperlukan karena beberapa hal. Pertama, presiden telah menegaskan agar wacana penundaan Pemilu dihentikan. Sementara itu, big data berorientasi membangun logika urgensi penundaan pemilu. Sepanjang data 110 juta percakapan netizen itu tidak dibuka, sepanjang itu pula perbincangan soal Pemilu ditunda sulit berhenti.

Kedua, agar polemik berakhir, presiden sebaiknya meminta Luhut membuka big data sebagai bentuk pertanggungjawaban pejabat publik ke hadapan rakyat. Klaim seorang pejabat publik yang disampaikan secara terbuka merupakan informasi publik yang layak diketahui masyarakat.

Mengapa? Karena klaim tersebut dapat dijadikan referensi oleh masyarakat, selain memengaruhi persepsi mereka. Agar masyarakat tidak keliru menyimpulkan, maka semua harus dijelaskan dengan baik agar big data dapat dipelajari bersama. Lembaga pengkaji big data siapa? Metode sampling-nya bagaimana?

Ketiga, tidak sedikit yang menilai, sikap Luhut terlihat arogan saat berdialog dengan mahasiswa Universitas Indonesia. Saat itu, mahasiswa meminta Luhut membuka data 110 juta percakapan netizen yang mendukung Pemilu ditunda. Tapi Luhut bergeming dengan sikap pongah. Ini tak elok bagi seorang menteri. Presiden selayaknya menegur. Bila tidak, masyarakat dapat memersepsikan bahwa Jokowi berdamai atau setidaknya membiarkan sikap arogansi bawahan dekatnya.