Berpihak Pada Oligarki Hati Hati Jokowi Bisa Tergelincir Minyak Goreng

Padahal jika melihat struktur produksi minyak sawit mentah (crude palm oil--CPO) pada 2021, menurut Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian Dedi Junaedi, mencapai 49,71 juta ton. Sementara kebutuhan konsumsi CPO untuk minyak goreng (food) dan biodiesel pada 2021 tak lebih dari 14,81 juta ton.

Artinya, produksi sangat melimpah. Artinya, Pemerintah punya kendali yang kuat untuk menentukan harga yang sangat murah untuk rakyat. Tapi mengapa akhirnya Pemerintah memutuskan kebijakan mencabut HET minyak goreng kemasan ke pasar, melepas harga kepada pengusaha? Ini jelas sebuah kebijakan yang pro pengusaha, pro-oligarki.

Cilakanya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi sempat mengatakan bahwa dirinya tak akan mencabut karena ketersediaan stok minyak CPO sangat melimpah. “Orang sedang berspekulasi bahwa pemerintah akan mencabut HET yang tidak akan saya cabut dan kita punya minyak yang sangat banyak, kita tahu minyaknya sekarang di mana, kalau mereka tidak keluarkan akan kami tidak tegas,” kata Lutfi kepada Bisnis Indonesia, Selasa (8/3).

Lain yang diucapkan, lain pula yang diputuskan. Menteri Perdagangan akhirnya malah mencabut HET. Selain menelan ludah sendiri, Lutfi malah m

Lantas mengapa harga minyak goreng melesat di luar kendali, pada saat stok minyak goreng melimpah?

Ekonom senior Faisal Basri berpendapat kenaikan harga minyak goreng yang berujung pada kelangkaan stok barang seperti saat ini adalah ulah kebijakan Pemerintah sendiri. Dengan Program B20 (20% kandungan CPO) untuk pembuatan minyak biosolar dalam negeri, yang marjinnya lebih tinggi ketimbang untuk minyak goreng atau makanan.

Faisal mengatakan konsumsi CPO di dalam negeri yang sebelumnya didominasi oleh industri pangan, kini menjadi industri biodiesel. Lonjakan tajam terjadi sejak 2020 dengan diterapkannya Program B20 (20% kandungan CPO dalam minyak biosolar). Bahkan belakangan mulai diterapkan Program B30.

“Biang keladi yang bikin kisruh minyak goreng ini pemerintah karena meninabobokkan pabrik biodiesel,” kata Faisal.

Konsumsi CPO untuk biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton tahun 2019 jadi 7,23 juta ton tahun 2020. Di sisi lain, konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton pada 2019 jadi 8,42 juta ton di 2020.

Pola konsumsi CPO dalam negeri seperti itu dinilai akan terus berlanjut dan diperkirakan porsi untuk biodiesel akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan porsi CPO dalam biodiesel lewat Program B30 atau bahkan lebih tinggi lagi.

“Jadi karena wajib, konsumsinya naik, sawitnya kan tidak meningkat secepat kebutuhan biodiesel (jadi) diambil dari minyak goreng ini, industri pangan ini,” bebernya.