Berpakaian Tapi Telanjang

Oleh: Yusuf Blegur – Mantan Presidium GMNI

 

PAKAIAN dalam corak tradisi dan budaya manapun di dunia. Tidak hanya sekedar fungsi yang mengular  kelompok sosial, latar geografis,  etika dan  estetika semata. Setiap busana apapun yang dikenakan, lebih dari sekedar pemaknaan sesuatu yang berupa fisik atau material saja. Selain  menutupi seluruh anggota badan terhadap semisal pengaruh cuaca dan telah menjadi  bagian dari gaya hidup.

Keragaman kasual pembalut tubuh  itu tak bisa dihindari sudah menjadi  representasi dari struktur dan kultur populasi manusia. Asal-usul atau trah, karakter dan    citra seseorang atau masyarakat, dapat diidentifikasi dan diklasfikasikan dari tampilan balutan pakaian yang dikenakannya. Seiring  perkembangan jaman, jenis  pakaian yang dikenakan berubah sesuai trend dan modenya. Dari hampir telanjang, menggunakan anyaman dedaunan, menggunakan kulit binatang hingga dengan tampilan busana yang modern seperti sekarang ini. Aspek-aspek terkait  sandang yang melingkupinya,  dalam hal   ini tidak ditemukan pada hewan atau makhluk lainnya. Jarang atau mungkin tak pernah terlihat,  katak atau kalelawar dll. menggunakan baju atau seragamnya.

Ketika pakaian juga telah menjadi warisan nilai-nilai terkait agama dan  budaya, sebagaimana diantaranya ketentuan menutup aurat dan mengadakan hijab. Maka ia menjadi habit yang dimaknai sebagai keharusan atau kepatutan. Selanjutnya definisi pakaian secara keseluruhan telah mewujud sebagai bagian dari peradaban manusia. Ada kebaikan dan keburukan di dalamnya, ada norma dan kesusilaan yang menyertainya. Pada akhirnya, pakaian  juga dapat menjadi alat ukur, alat tekat dan sarana komunikasi dalam interaksi sosial. Pakaian yang menyemat ditubuh seseorang terbukti dapat digunakan untuk mengangkat atau merendahkan derajatnya. Dieksplotasi untuk menyanjung atau melecehkan seseorang. Telah menjadi suatu instrumen tak terpisahkan dari  sistem sosial, yang terkadang digunakan untuk menguasai dan mengendalikan kepentingan tertentu.