Eramuslim – Sejak minggu lalu perdebatan di medsos terkait turunnya jumlah orang miskin, sebanyak 630.000 jiwa menjadi di bawah 10% (9,8% atau 25,95 juta jiwa) sangat menyita banyak perhatian.
Pemerintah mengklaim bahwa penurunan ini merupakan prestasi terbesar sepanjang puluhan tahun, dari 1999, dan dari rezim demi rezim, hanya di rezim Jokowi ini kemiskinan bisa di entaskan di bawah “dua digit”. Sebuah “story of success” yang tidak mampu dicapai pemerintah sebelumnya.
Pro-kontra langsung saja terjadi. Pemerintah bangga dan yakin bahwa ukuran kemiskinan dan hasil (angka) orang miskin yang dirilis BPS tersebut adalah kredibel. Sedangkan oposisi menganggap pasti ada kesalahan dalam data ini. Sebab, menurutnya, secara kualitatif rakyat merasa ekonomi semakin sulit, harga-harga pada naik, dan lapangan pekerjaan juga semakin sulit.
Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana bisa ada berita rakyat busung lapar dan mati karena kelaparan di Asmat dan Bintang, Papua, awal tahun ini, serta di Seram, Maluku, beberapa hari lalu memghantui kita, padahal kemiskinan menurun? Bagaimana keluar dari kemiskinan tanpa lapangan kerja?
Selain debat hal di atas, beberapa orang pentingpun tak luput dari kekhilafan, ketika mengaitkan ukuran dolar kemiskinan pada harga pasar, padahal dolar yang dianut adalah dollar PPP (Purchasing Power Parity).
Mengukur Kemiskinan
Tugas orang orang statistik adalah mengukur data kuantitatif. Namun, konsep yang akan diukur merupakan tugas orang orang politik, pemerintah dan kaum akademis. Untuk itulah Sarkozy, mantan Presiden Perancis, misalnya, mengundang 20 an professor doktor dari Universitas ternama di Amerika dan Eropa, satu dari India, plus lembaga UNDP, OECD, INSEEE, bertemu di Paris, 2008, untuk merumuskan “bagaimana mengukur” soal kemiskinan itu.