(Sepenggal Kisah Tentang Pencarian Tuhan)
Benarkah Dia itu Allah? Mengapa aku menjadi muslim? Memilih Islam menjadi agamaku? Allah menjadi Tuhanku? Mengapa kok tidak memilih agama lain? Siapa yang menyuruhku menjadi muslim? Bagaimana kalau aku dibohongi? Mungkin dari orang tua, famili, guru agama, dari teman dekat, dan dari siapa saja. Mereka semua memposisikan aku untuk jadi orang Islam. Bagaimana kalau misalnya mereka semua berbohong? Bukan Islam agama yang benar. Dan Allah? Siapa Allah itu? Dari mana aku tahu Dia?Apa aku sudah benar-benar yakin?
Pikiran dan pertanyaan- pertanyaan itu tiba-tiba muncul dikepalaku. Membuat aku bingung. Tak nyenyak tidur. Tak enak makan. Dan lebih-lebih tak bisa shalat dengan tenang. Saat itu usiaku sudah 18 tahun. Usia anak baru dewasa, dan telah memeluk Islam sejak kecil.
Maka aku berdoa dan berdoa agar aku keluar dari kebingungan ini, diberi jalan terang dari kegalauan yang sangat mengangguku. Akhirnya aku membuka Al Qur’an, buku-buku agama, dan buku-buku sejarah. Kulihat alam semesta dan ku merenung. Berhari-hari hatiku tergantung, tak punya arah.
Aku membaca dan membaca berbagai referensi. Tenyata aku dapat menyimpulkan bahwa Al Qur’anlah sumber yang paling meyakinkan. Paling otentik dari semua referensi yang ada. Tak ada kontrofersi di dalamnya dan isinya sesuai fitrah manusia. Ia ditulis, dibaca dan dihafal beribu bahkan berjuta orang dari masa ke masa. Mustahil mereka semua bersekongkol memalsukannya dan mustahil mereka semua lupa akan isi dan bacaannya. Berbeda dengan kitab agama lain yang pembaca dan penghafalnya lebih sedikit/tidak ada.
Maka kubuka Al Qur’an sambil terus berdoa semoga aku mendapatkan titik terang. Lembar demi lembar telah kubaca. Namun aku belum juga mendapatkan pencerahan. Aku semakin gelisah. Apa hatiku sudah terlalu kotor, sehingga tidak mendapat petunjuk? atau aku ini sudah gila?…aku menangis…aku terus membaca. Hingga sampai pada suatu ayat, yang ternyata dikemudian hari aku tahu bahwa ayat itulah yang pertama kali di dengar Umar Ibn Khaththab hingga hatinya langsung tersentuh dan ia pun mencari Muhammad bukan untuk membunuhnya sebagai mana awal niatnya, tapi untuk menyatakan keislaman dan tunduk dibawah perintahnya, yaiu surat Thaha Ayat 6 :
“ Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.
Maka tersungkurlah mukaku ditempat sujudku. Dan tiba-tiba hatiku diliputi keyakinan dan ketenangan. Hatiku yang tadinya kosong, kini terpenuhi oleh cahaya keimanan, meledak dan meluap karena keyakinan yang menghujam. Badanku gemetar. Kurasakan seakan Allah membentakku dengan firmanNya “Sesungguhnya aku inilah Allah, tak ada Tuhan selainKu, maka sembahlah aku,” yang membuat aku tesentak dan tersadar dari kelalaianku.
Sekarang aku baru memahami dan merasakan bahwa keimanan itu adalah hidayah. Keimanan itu adalah kehendak dan pemberian dari Allah, setelah kita berniat dan berusaha mencarinya dengan ikhlas. Walau seseorang diberi nasehat dan dakwah bertubi-tubi, kalau Allah belum berkehendak, belumlah ia beriman. Hal itu karena tidak ada niat dalam dirinya sendiri untuk mencari hidayah itu. Dengan kata lain ia pasif dalam beriman dan berislam. Tetapi jika seseorang itu memiliki niat ikhlas dan berusaha bersungguh-sungguh untuk mencari hidayah (ia aktif dalam berislam), maka Allah pun pasti akan mendatangkan petunjuk untuknya. Dan jika ada seseoarang yang bersungguh-sungguh belajar Islam, tapi niatnya tidak ikhlas karena Allah, misalnya karena ingin merusak Islam, seperti para orientalis barat dan kaum misionaris, maka Allah juga tidak akan mendatangkan hidayah kepadanya, kecuali pada orang yang benar-benar mencari kebenaran (ikhlas).
Maka sejak itu sirnalah mendung yang meliputi pikiranku. Terbitlah mentari yang membawa cahaya keimanan yang kuat dihatiku. Aku sangat besyukur mendapatkan hidayah ini. Bahwa aku telah mendapatkan iman ini dengan ilmu, dengan belajar dan membaca kalamNya. Bukan iman yang hanya ikut-ikutan, iman yang hanya mengikuti dari orang tua, atau dari si A atau si B. Maka akupun berjanji akan menggenggam keyakinan ini sampai mati. Kan kulalui hari demi hari dengan petunjukMu, kan kusimpan rindu ini untukMu, dan kan kunanti hari pejumpaan denganMu di syurga nanti. Insyaallah.
***
Kesimpulan dari sepenggal kisah diatas adalah bahwa hendaklah kita beriman dengan dasar ilmu yaitu dengan membaca dan mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah dan kalau kita mengaku beriman pada Allah tanpa ada proses belajar / mencari ilmu yang mendasarinya, atau dengan kata lain iman kita hanya ikut-ikutan saja, maka bisa dikatakan bahawa iman kita belumlah kuat dan belum sempurna.
OLeh : Nazla El Qorie