Sukarno menggunakan pencitraan sebagai alat. Yaitu alat untuk kepentingan bangsa. Bukan sekedar untuk memenangkan kekuasaan atau personal glory, seperti banyak dilakukan oleh para PANGERAN PENCITRAAN dan para RATU PENCITRAAN saat ini, mulai dari Ridwan Kamil, Sri Mulyani, Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, AHY, Ahok, dan para elit kekuasaan hari ini pada umumnya.
Donald Trump mencitrakan diri kontroversial dan vulgar. Tetapi baginya American First. Kepentingan Amerika adalah yang utama.
Di bawah Trump selama 20 tahun terakhir tingkat pengangguran berada di titik terendah. Pendapatan upah meningkat. Kelompok Blue Colour (biasanya simpatisan Partai Demokrat) bergeser mendukung Trump. Industri Amerika menguat dan banyak hal dilakukannya untuk menekan Tiongkok agar perekonomian Amerika semakin baik.
Di Kanada terdapat Justin Trudeau. Perdana Menteri muda, charming, smart, and handsome, dan berasal dari keluarga elit lantaran bapaknya, Pierre Trudeau, juga pernah Perdana Menteri. Pencitraannya yang simpatik adalah untuk menomorsatukan Kanada dan digunakan untuk kepentingan nasional.
Waktu pesawat Ukraina jatuh di tengah memanasnya konflik Amerika-Iran baru-baru ini, ia tidak serta-merta mengecam Iran, walaupun banyak warga Kanada jadi korban jatuhnya pesawat. Ia menyebut Amerika sebagai pembuat ketegangan.
Bagaimana dengan di sini?
Di sini oligarki kekuasaan terus menerus sibuk membela para
penguasa berkelas KW-3 yang naik ke tangga kekuasaan dengan menjadikan pencitraan sebagai tujuan.
Mereka pada dasarnya tidak peduli Indonesia bakal masuk ke dalam jurang kehancuran, lantaran memang tidak memiliki kapasitas untuk memimpin negara yang sedemikian luas, kaya, dan majemuk seperti ini. Tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi, karena secara esensi mereka adalah para Pangeran Pencitraan dan para Ratu Pencitraan belaka, yang tatkala berkuasa menjadi sangat pandir, khianat, dan suka mencuri. (kl/konfrontasi)
Penulis: Arief Gunawan, Wartawan Senior.