Selama bertahun-tahun, Presiden Amerika mengambil sikap lemah pada pembangunan pemukiman ilegal Israel. Sekarang pun langkah-langkah kebijakan yang dilakukan Presiden Obama itu selalu penuh dengan ambivalen. Retorikanya yang ingin menciptakan perdamaian di kawasan Timur Tengah, tidak pernah serius diemplementasikan, karena menghadapi tantangan dari Israel, dan Kongres serta lobi Yahudi di Amerika.
Pada tahun 2008, Barack Obama, menjadi kandidat presiden dari Partai Demokrat, dan calon presiden dari Partai Demokrat, sangat menampakkan dukungan kepada Israel. Obama yang maju sebagai calon presiden itu, tidak ragu-ragu menggambarkan bahwa dirinya akan menjadi penjaga dan pelindung Israel di masa depan. Untuk menunjukkan sikapnya kepada pemilih yang pro-Israel dan Israel, maka calon presiden dari Partai Demokrat itu, dalam pidato yang ditujukan kepada American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), menjanjikan dukungannya bahwa Yerusalem selamanya akan tetap menjadi "ibukota Israel, dan tak akan pernah terbagi", ujarnya.
Tiga tahun sesudah menjadi Presiden AS, Obama, memasuki babak baru, dan ia mulai lagi melakukan kampanye pendahuluan, dan masih tetap berambisi menjadi presiden periode berikutnya, di tahun 2012. Obama ingin dipilih kembali menjadi presiden di negeri "adi kuasa" itu. Sebagai bagian dari kampanye itu, Obama membuat babak baru dari upaya yang sifatnya hanya "setengah hati", yaitu untuk menghidupkan kembali "proses perdamaian", yang macet total, akibat sikap Israel yang "membatu" dengan terus membangun pemukiman baru di wilayah yang didudukinya.
Belum lama ini, pidato Obama terbaru ditujukan kepada AIPAC, Presiden AS itu berjanji memberikan jaminan keamanan, komitment (kesetiaannya) terhadapa Israel yang tidak akan pernah berubah. Singkatnya Obama menegaskan kembali komitmen Amerika untuk tujuan kepentingan politik dan keamanan Israel. Pidato Obama yang sangat monumental dan bersejarah itu, ia menolak hak bangsa Palestina untuk meredeka. Obama bahkan bersumpah untuk memblokir setiap upaya damai Palestina untuk mendapatkan hak-hak dasar dan hukum menjadi sebuah negara yang merdeka mereka di organisasi-organisasi internasional (PBB).
Obama yang menyatakan hak rakyat untuk Palestina "menentukan nasib sendiri" tidak lebih dari retorika hampa. Itu hanyalah "bualan" Barack Obama, yang tidak akan pernah diwujudkannya. Karena Obama mempunyai kemitment (janji kesestiaan) yang memberikan jaminan keamanan kepada Israel. Semuanya sangat jelas, dan tidak ada yang diragukannya. Obama memberikan jaminan keamanan yang tidak terbatas kepasda Israel, dan kebijakan luar negeri Amerika tetap tidak berubah, dan yang akan menjadi prioritas utama bagi kebijakan luar negeri Amerika memberikan jaminan keamanan bagi Israel.
Obama mengulangi komitmennya terhadap visi solusi dua-negara – pembentukan negara Palestina di samping Israel. Namun, akibat tekanan Israel yang keras, maka Obama meninggalkan persyaratan yang mendasar tentang tapal batas negara Palestina-Israel, seperti yang disebutkan bahwa segala pembahasan masalah Palestina-Israel, berdasar pada perbatasan yang berdasar sebeleum perang tahun 1967. Semuanya itu sudah ditolak oleh Israel, dan Presiden Obama lebih "concern’ pada menjaga kepentingan Israel, yaitu "kepentingan keamanan".
Gagasan untuk melanjutkan perundungan perdamaian berdasarkan perbatasan tahun 1967 (juga dikenal sebagai Garis Hijau), tidak berarti penarikan Israel secara menyeluruh dari wilayah-wilayah pendudukan. Obama tidak mungkin akan mendukung pembentukan negara Palestina berdaulat, pada seluruh tanah dalam Garis Hijau, termasuk Yerusalem Timur, yang sudah dikuasai oleh Israel.
Ada perbedaan yang signifikan dalam peundingan "bahasa" formal, dan bahkan bahasa hukum antara mengatakan bahwa pembentukan negara Palestina "akan didasarkan pada" perbatasan 1967 sebagai lawan mengatakan "akan dibentuk pada" perbatasan 1967.
Yang pertama menyisakan ruang yang cukup bagi Israel untuk terus menduduki dan bahkan mencaplok wilayah pemukiman yang luas (dan bahkan mungkin semua, pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur) untuk "alasan keamanan". Jadi dengan alasan "keamanan" akan tetap menguasai dan menduduki serta membangun pemukiman baru Israel, dan itu tidak mungkin akan dilikwidir oleh apapun, termasuk langkah-langkah politik Obama.
Antara Retorika Politik dan Implementasinya
Banyak yang menyalah pahami pidato Obama hari Jum’at lalu, khususnya kelompok yang pro-Israel. Seakan-akan Obama akan mengubah pandangan dan kebijakan atas Timur Tengah, khususnya Palestina, bahwa Obama akan mendukung berdirinya negara Palestina dengan kembali sebelum perang tahun 1967. Semuanya itu tidak ada. Obama memastikan pandangannya yang definitif kepada kekuatan pro-Israel bahwa tidak ada akan kembali ke perbatasan tahun 1967.
"Pernyataan Obama itu berarti bahwa para pihak yang terli bat konflik – Israel dan Palestina – akan melakukan negosiasi perbatasan, yang sudah berbeda dari pada tanggal 4 Juni 1967. Di mana Israel sudah tidak mungkin menerima perubahan, dan kembali ke tapal batas sebelum perang tahun 1967, karena telah terjadi selama empat puluh empat tahun terakhir, termasuk realitas demografis yang baru. " Dimana selama empat puluh tahun terakhir ini, hampir wilayah-wilayah yang diduduki Israel telah berubah secara demografis, dan yang dahulu wilayah itu mayoritas dihuni rakyat Palestina, sekarang sudah dikuasi rakyat Israel.
Dengan kata yang lebih jelas, Presiden Obama secara efektif, walaupun tidak secara eksplisit, menyamakan kehadiran Palestina di tanah mereka sendiri dengan kehadiran mereka itu ilegal. Hak rakyat Palestina disamakan dengan para pemukim Israel yang tinggal di tanah rakyat Palestina yang menyita tanah-tanah mereka, selama empat puluh tahun dari Palestina.
Pada dasarnya, entitas Yahudi itu sebagai pemukim yang hidup di tanah ilegal, dan dilegalisir berdasarkan hukum internasional, karena mereka secara fisik berada di sana, dan mereka mengklaim tanah itu menjadi milik mereka.
Ini menegaskan banyak keyakinan di wilayah itu, bahwa pembangunan permukiman Israel dan Tembok Pemisah yang meliputi perbatasan tahun 1967 adalah cara Israel perlahan-lahan menyelesaikan aneksasi de facto tanah Palestina.
Pidato Obama yang disampaikan belum lama ini, hanya memberikan legitimasi terhadap pemukiman ilegal Israel. Inilah sejarah gelap Presiden Amerika, Barack Obama, yang secara retorika akan membela Palestina dan memberikan hak kemerdekaan, dan membuat marah para pemimpin Israel, tetapi hakekatnya itu hanyalah sebuah "penipuan" politik yang dilakukan seorang Presiden Amerika.
Pesan Obama kepada Israel tampaknya untuk mengkonfirmasi bahwa ia siap untuk menjaga janjinya yang pernah diucapkan oleh mantan presiden George Bush tahun 2005, di mana Israel akan mampu menjaga wilayah permukiman terbesar mereka sebagai akibat dari solusi yang dirundingkan untuk konflik, .
Dengan kata lain, gagasan Obama Palestina penentuan nasib sendiri bagi rakyat Palestina itu, artinya rakyat Palestina harus menerima apapun yang diputuskan oleh Israel.
Dalam sambutannya AIPAC, dan pidato sebelumnya ditujukan ke Timur Tengah, Obama tampaknya ingin keluar dari situasi sekarang ini. Obama ingin mencoba dengan retorika mengakomodasi perubahan yang dibawa oleh "revolusi" di dunia Arab. Untuk sementara Obama berpendapat bahwa Israel harus memahami "revolusi" telah mengubah keseimbangan politik di wilayah itu, dan Israel harus memahaminya sekarang untuk berdamai dengan para pemimpin Arab. Tetapi, dengan kondisi di dalam negeri Israel dan Amerika Serikat itu, di mana faktor kekuatan lobi Israel yang begitu kuat, akhirnyaObama mengabaikan semua perubahan yang terjadi didunia Arab.
Begitu Banyak Harapan
Bahkan, ketika datang ke Palestina, Obama berbicara dan bertindak seolah-olah "revlusi" Arab belum terjadi. Ia harus ingat bahwa sekutu Amerika yang paling setia di wilayah Arab tidak bisa secara terbuka mendukung formula Amerika-Israel bagi perdamaian dengan Palestina. Mengapa Amerika harus memaksa gagasannya itu diterima jutaan orang Arab pro-Palestina?
"Revolusi" di dunia Arab mungkin telah mempengaruhi wacana politik Amerika tentang hak-hak Palestina, tetapi belum membuat dekat untuk mengarah kepada perubahan nyata dalam kebijakan Amerika.
Obama benar-benar telah menyerah oleh pemerasan politik Netanyahu – yang tujuan utamanya telalu membesar-membesarkan masalah keamanan terhadap proses perdamaian. Tetapi, hakekatnya Israel terus menghadapi tantangan dengan kebijakan ekspansionisnya. Semua tindakan Israel itu telah membuat muak dunia Arab dan masyarakat internasional, di mana Israel selalu mengekspoitasi masalah keamana, yang tujuannya untuk melanggengkan pendudukan terhadap wilayah yang menjadi hak rakyat Palestina.
Netanyahu ingin ide kembali ke perbatasan tahun 1967 tidak lagi menjadi agenda dan pembicaraan. Karena Israel saat ini sedang sibuk menggambar perbatasannya sendiri, dan masa depan kekuatan militer di wilayah itu. Netanyahu paham pernyataan Obama jelas-jelas pro-Israel.
Pidato Presiden Amerika Obama itu, hakekat pidatonya itu merupakan sebuah deklarasi tentang "komitmen" untuk kepentingan Israel dan keamanannya. "Itu sebabnya kami telah meningkatkan kerjasama antara militer kita ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Itu sebabnya kami membuat kita yang paling maju teknologi yang tersedia untuk sekutu Israel kami ", ucap Obama.
"Dan itu sebabnya, meskipun menghadapi kondisi fiskal (anggaran) yang sulit, kami telah menambah bantuan militer kepada Israel ke tingkat tertinggi", tambahnya.
Obama tidak hanya konsisten dalam menjaga dukungannya yang penuh AS untuk Israel, tetapi juga diartikulasikan sikap baru yang lebih tegas yang secara eksplisit kebijakan Amerika terhadap Palestina,yang akan memblokir setiap upaya keinginan mewujudkan negara Palestina secara damai melalui hukum internasional dan PBB.
"… Amerika Serikat akan berdiri melawan upaya untuk keluar Israel tunggal di PBB atau dalam forum internasional. Karena legitimasi Israel bukanlah masalah untuk debat", dia berjanji pertemuan para pendukung setia dan paling berpengaruh Israel.
Dengan berpihak kepada Israel menentang rencana Otoritas Palestina untuk mencari pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi negara Palestina yang berbasis pada perbatasan tahun 1967, hekaketnya AS telah menyatakan perang terhadap semua orang Palestina, Otorita Palestina dan aktivis sama.
Namun kampanye tersebut ditujukan pengakuan negara Palestina sebagai upaya "untuk delegitimise" Israel. Presiden obama tidak sengaja mengakui bahwa kebijakan-kebijakan Israel sendiri kurang legitimasi.
Sebuah wacana berbasis hak?
Pernyataan Obama bahwa pengakuan PBB sendiri tidak dapat menciptakan negara Palestina secara teknis benar, itu akan mengembalikan topik dalam wacana hak-hak hukum – yang tidak akan ditetapkan oleh kekhawatiran keamanan Israel seperti di masa lalu.
Pengakuan PBB, tentu saja, akan menuju pembentukan negara Palestina yang ditentukan oleh perbatasan tahun 1967 – yang berarti bahwa semua pemukiman Israel di dalam perbatasan harus dievakuasi. Tanpa ini, itu hanya akan melegitimasi dan melanggengkan formula negosiasi Amerika-Israel.
Obama ketakutan menggagalkan dekade kebijakan Amerika yang bertujuan untuk memveto setiap resolusi PBB yang berkaitan dengan kejahatan Israel, dan memulai wacana baru tentang konflik yang akan berbasis hak.
Itu tidak mengherankan, ketika Obama menyatakan perjanjian rekonsiliasi antara Fateh dan Hamas, yang ditandatangani awal bulan ini, menjadi "rintangan" bagi perdamaian di kawasan itu. Karena semua pola pikir nya murni pro-Israel. Segala upaya persatuan Palestina – dan akan mendorong persatuan yang menguatkan palestina – tidak lagi dapat melayani kepentingan Israel. Di mana selama ini Israel telah membuat strategi "memecah belah dan menaklukan" Palestina, dan selama ini methode itu sangat efektif, dan membuat Palestina menjadi sangat lemah.
Obama menolak Hamas menjadi mitra perdamaian, karena seperti yang diucapkan para pemimpin Israel, bahwa Hamas itu ancaman keamanan, dan organisasi teroris.
Jika Obma ingin tahu siapa mitra diterima benar untuk perdamaian? Obama bisa mendapatkan transkrip dalam bahasa Inggris dari diskusi di Knesset (parlemen Israel) dan membacanya, bagaimana anggota dari Partai Arab, yang disebut sebagai kelompok kanan, dan panggilan politik "binatang", dan sangat tidak manusiawi terhadap warga warga Palestina.
Jika Obama bersedia mendorong kebijakan Israel seperti ‘transfer tanah’, yang bertujuan untuk menyingkirkan masyarakat Palestina dan merujuk kepada mereka sebagai sekadar "perubahan demografis", lalu mengapa dia peduli retorika rasis dan ancaman oleh Israel sayap kanan?
Dalam pidato terakhirnya, Obama tidak mengacu sekali untuk peristiwa yang terjadi pada protes 15 Mei, Hari Nakba ‘. Selama demonstrasi damai, militer Israel menanggapi dengan cara yang brutal, dan satu-satunya cara mereka tahu – dengan menembakkan tanpa pandang bulu terhadap para demonstran tidak bersenjata. Pada penembakan, lebih dari 20 orang tewas di perbatasan Suriah dan Lebanon.
Mungkin bagian yang paling mengganggu dari pidato Obama adalah upaya berlebihan untuk mengadopsi Israel,dan penyangkalan tentang hak-hak nasional Palestina.
Pada akhir sambutannya, klaim Obama bahwa sejarah Israel bisa ditandai dengan perjuangan untuk kebebasan, dan ini mengulang dari pidatonya AIPAC tahun 2008, dan mengatakan:
Presiden Amerika menolak untuk melihat penindasan Israel dan represi yang mereka laukan. Obama menolak untuk mengakui legitimasi perjuangan Palestina untuk kebebasan – karena jika ia melakukannya, ia hanya bisa menghilangkan peluangnya untuk memenangkan masa jabatan kedua sebagai presiden AS. Obama menutup hati nuraninya sendiri, karena sudah tersandera kepentingannya kekuasaan. (mh)