Banyak kalangan berkeyakinan bahwa presiden terpilih Barack Obama akan menerapkan kebijakan yang berbeda dengan pendahulunya Presiden George W. Bush dalam isu-isu Timur Tengah, termasuk konflik Israel-Palestina. Tapi melihat fakta di lapangan, dimana Obama menunjukkan keberpihakannya pada Israel dan Yahudi, sulit mengharapkan perdamaian di Timur Tengah karena Israel adalah duri bagi Timur Tengah utamanya Palestina. Kecuali Obama berani mengambil resiko dan berani menolak tekanan-tekanan dari kelompok-kelompok lobi Yahudi.
Janji Obama pada Yahudi
Sudah menjadi rahasia umum besarnya peran lobi Yahudi dalam setiap pemilu presiden AS. Sehingga siapapun yang ingin menjadi presiden di Negeri Paman Sam, harus menunjukkan komitmen dan dukungan penuhnya terhadap eksistensi negara ilegal Israel. Tak terkecuali Obama dan McCain, dua kandidat pemilu presiden AS kemarin. Keduanya saling berebut mendapatkan simpati masyarakat Yahudi AS dan tentu saja lobi-lobi Yahudi di negeri itu. Tapi Obama ternyata dianggap lebih karismatik oleh pemilih di kalangan Yahudi AS dibandingkan McCain.
Sejumlah survei yang dilakukan selama kampanye berlangsung menunjukkan mayoritas dukungan Yahudi AS pada Obama. Data situs Israel Ynet misalnya, menyebutkan bahwa 78 persen pemilih dari kalangan Yahudi AS memberikan dukungannya pada Obama dan hanya 21 persen pemilih Yahudi yang memberikan suaranya untuk McCain dalam pemilu presiden kemarin.
Kampanye McCain yang menyatakan akan memindahkan kantor kedubes AS di Tel Aviv ke Yerusalem tidak terlalu menarik publik Yahudi, yang tetap memberikan suaranya pada Obama yang mengkampanyekan dirinya sebagai "Sahabat Sejati Israel" dan bernjanji bahwa kebijakan-kebijakannya kelak tidak akan merugikan Israel dan akan menjamin keamanan Israel.
"Yahudi memang selalu melihat apakah kandidat-kandidat presiden AS itu simpati pada mereka sebagai seorang Yahudi. Yahudi yang liberal merasa Obama lebih pro Israel ketimbang Yahudi yang konservatif," kata Profesor Steven Cohen, guru besar Kebijakan Sosial Yahudi dari Hebrew Union College.
Dukungan Yahudi AS pada Obama tidak terlepas dari tujuan mereka untuk tetap menjaga eksistensi negara ilegal Israel yang berdiri di atas tanah milik bangsa Palestina. Terkait hal ini, James Rubin yang pernah menjadi penasehat luar negeri mantan presiden Bill Clinton mengatakan, ada keyakinan yang tertanam di kalangan masyarakat Yahudi bahwa, jika AS lemah maka Israel juga lemah dan jika AS dihormati maka Israel juga akan dihormati. Dalam hal ini publik Yahudi melihat Obama sebagai sosok yang kuat dan populer bukan hanya di mata publik AS tapi juga di mata masyarakat dunia.
Masyarakat Yahudi AS makin yakin akan komitmen Obama terhadap Israel, karena dalam masa kampanyenya Obama banyak mengunjungi komunitas Yahudi dan sinagog-sinagog. Apalagi pada tahun 2006, Obama pernah berkunjung ke Israel dan menengok keluarga Israel yang rumahnya hancur akibat serangan roket Katyusha. Sebulan kemudian, ketika pecah perang Hizbullah-Israel, Obama dengan tegas mengatakan bahwa Israel berhak membela diri.
Faktor lainnya yang membuat publik Yahudi menggantungkan harapannya pada Obama adalah sikap Obama terhadap kelompok pejuang Hamas di Palestina. Obama menyatakan akan bersikap tegas terhadap Hamas sampai Hamas mau mengakui eksistensi Israel. Obama juga menyalahkan para pemimpin Palestina yang dianggapnya sebagai penyebab penderitaan rakyat Palestina.
Fakta-fakta ini cukup untuk menimbulkan keyakinan bahwa kebijakan-kebijakan Obama kelak terkait isu-isu Palestina tidak akan jauh berbeda dengan pendahulunya, Presiden George W. Bush. Masa depan bangsa Palestina masih suram karena AS masih tetap memberikan dukungan buta pada Israel dan perjuangan Palestina untuk menjadi negara merdeka dengan ibukota Yerusalem makin berat, karena Obama pernah dengan tegas mengatakan bahwa Yerusalem akan menjadi ibukota Israel.
Meski dalam beberapa kesempatan Obama menyatakan akan secara aktif terlibat dalam upaya rekonsiliasi Arab-Israel dan mengecam perluasan pemukiman Yahudi oleh Israel yang disebutnya "tidak membantu" upaya perdamaian di Palestina. Tapi pernyataan-pernyataan itu cuma jadi basa-basi, karena pada akhirnya Obama mengatakan, "Kepentingan saya dalam menyelesaikan masalah ini, bukan hanya untuk Israel tapi juga untuk kepentingan AS."
Tokoh Yahudi di Sekitar Obama
Keyakinan bahwa kebijakan Obama tidak akan jauh berbeda dengan Bush dalam urusan Palestina makin kuat, setelah beberapa minggu setelah kemenangan Obama dalam pemilu, sedikit demi sedikit terkuak bahwa Obama memilih tokoh-tokoh Yahudi AS sebagai tim pemenangan pemilunya. Beberapa diantaranya adalah David Exelrod sebagai kepala strategi dan Dennis Ross sebagai kepala penasehat isu-isu Timur Tengah.
Yang cukup mengejutkan, Obama menunjuk Rahm Emanuel, seorang mantan tentara Israel pada masa Perang Teluk sebagai kepala staff Gedung Putih. Emanuel dikenal sebagai seorang Yahudi garis keras sehingga dijuluki "Rahmbo" oleh lawan-lawan politiknya. Emanuel pula yang menemani Obama saat memberikan pidato pro Israelnya di hadapan AIPAC sekaligus mengatur pertemuan antara Obama dan jajaran eksekutif AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) kelompok lobi Yahudi yang sering mempengaruhi kebijakan-kebijakan luar negeri AS, terutama yang berkaitan dengan kawasan Timur Tengah.
Ayah Rahm, Dr. Benjamin Emanuel memuji keputusan Obama dan mengatakan penunjukkan puteranya adalah pertanda baik bagi Israel. "Jelas dia (Rahm) akan mempengaruhi presiden agar pro Israel," tukasnya.
Penunjukkan Rahm adalah kejutan pertama Obama. Presiden terpilih itu masih harus membuat susunan kabinetnya dan banyak yang menunggu akan seperti apa komposisi kabinet Obama, apakah akan didominasi tokoh-tokoh AS keturunan Yahudi, terutama untuk posisi-posisi strategis seperti menteri pertahanan.
Memberikan dukungan penuh pada Israel adalah harga mati bagi seorang presiden AS, sehingga sulit mengharapkan Obama berani mengambil posisi berlawanan terhadap orang-orang yang "berjasa" mengantarkannya ke singgasana Gedung Putih.
Ada beberapa tokoh jurnalis Israel yang berpendapat Obama harus mampu melawan tekanan-tekanan lobi Yahudi seperti AIPAC, jika ia ingin menerapkan kebijakan yang lebih adil pada Palestina. Akiva Eldar, penulis editorial dan ketua penulis kolom politik di surat kabar Israel Haaretz mengatakan, Obama seharusnya tak perlu takut menghadapi kelompok lobi Yahudi sayap kanan.
"Obama memiliki semua yang dibutuhkan untuk terbebas dari tekanan lobi Yahudi di AS," kata Eldar. Apalagi saat ini di AS, tukasnya, muncul generasi baru politisi yang mengadvokasi keterlibatan AS dalam proses perdamaian di Timur Tengah, dipelopori oleh J. Street dan sikap mereka berbeda dengan AIPAC.
Pendapat serupa dilontarkan wartawan senior Haaretz lainnya, Gideon Levy. Levy yang pernah menjadi juru bicara Shimon Peres dalam tulisannya berharap Obama tidak seperti orang-orang selama ini menunjukkan dukungannya pada Israel.
"Ketika kita mengatakan seseorang adalah ‘sahabat Israel’ kita mengartikan orang tersebut sebagai pendukung penjajahan, sahabat negara yang selalu menggunakan bahasa kekuatan, yang memberikan kekuasaan penuh pada Israel untuk melakukan kekerasan, yang menolak perdamaian di wilayah kawasan,"
"Kita berharap tidak seperti itu," tulis Levy.
Ketika Obama mengatakan "sahabat Israel" tambah Levy, seharusnya ia mampu mengakhiri blokade di Gaza dan boikot terhadap Hamas, mampu mendorong perdamaian antara Suriah dan Israel, bisa mendorong kesepakatan damai antara Israel dan Palestina.
"Biarlah Obama mengingat bukan hanya warga kulit hitama Amerika yang punya hak sipil dan hak asasi, tapi juga bangsa Palestina," tandas Levy.
Mungkinkah harapan Levy, Eldar dan harapan banyak pihak yang menginginkan perdamaian di Timur Tengah akan terwujud? Jawabannya tentu sangat tergantung pada beranikah Obama melawan tekanan-tekanan kelompok Yahudi di negerinya. (ln/berbagai sumber)