Tubuh, hati dan perasaan bangsa kita dibuat tidak peka. Kita dibuat hanyut, larut dan tenggelam di dalam perubahan lingkungan yang dikendalikan sepenuhnya dari pusat-pusat neo-kolonialisme. Kita malah merasakan bahagia mengalami situasi penderitaan akibat penjajahan asing yang datang dengan wajah sebagai malaikat penolong, datang sebagai investor dan debitor (pemberi utang).
Sebagian dari kita bahkan dituduh anti terhadap perkembangan zaman ketika menentang invasi ekonomi dan teknologi asing yang bertentangan dengan konstitusi dan UU. Kita tak mampu bangkit memimpin dan melakukan revolusi teknologi dan industri nasional yang selama ini membuat kita bergantung dan menjadi koloni teknologi negara lain.
Elite politik dan masyarakat kita menikmati menjadi bangsa “kanibal” yang merasakan nikmatnya memakan daging saudara kita sendiri yang menjadi bagian dari tubuh kita. Kita terpukul mundur dari bangsa beradab menjadi bangsa “tribalisme” yang mementingkan kepentingan suku, parpol, golongan dan agama.
Para aktivis kita bangga menjadi koloni teori dan koloni ideologi bangsa lain. Para “pelacur intelektual” di kampus bangga menjadi “marsose” perang fikiran yang membenarkan proses kolonialisasi, perbudakan dan “aboriginisasi” dengan berbagai argumen dan “jampi-jampi” teori sosial yang dijiplak dari para ilmuan sosial negara penjajah.
Demikianlah arah dari operasi mindset atau the war of mindset, yang dilancarkan oleh kekuatan asing yang saat ini kita rasakan, telah berhasil menciptakan situasi bangsa kita persis seperti seekor kodok yang ditaruh di dalam panci berisi air yang bernama globalisasi ekonomi liberal dan demokrasi liberal. Tanpa kita sadari, pandangan hidup, cara berpikir dan perilaku kita ternyata telah dirubah secara sangat mendasar.
Yang menjadi target untuk “dibunuh” atau “dikuasai” dalam medan perang mindset tersebut bukan tubuh kita. Pikiran dan perasaan adalah sasaran dan objek untuk dibunuh atau dikuasai. Kekuatan asing telah berhasil menyusup dan menguasai alam pikiran kita. Perasaan, selera hingga mimpi kita telah berada dalam genggaman dan kendali musuh kita yang datang tanpa bentuk.
Ketika cara pandang para penyelenggara negara dan sebagian besar rakyat kita telah dikuasai oleh kekuatan neokolonialis, maka arah atau haluan bernegara tidak lagi ditentukan oleh wakil rakyat atau yang digariskan oleh konstitusi, tapi ditentukan oleh opini publik yang dibentuk melalui operasi mindset yang menggunakan berbagai perangkat perang seperti sistem ekonomi-politik liberalisme dan teknologi informasi.
Setiap saat rakyat kita dapat direkayasa mindsetnya untuk menerima bentuk baru dari penjajahan asing dengan gembira dan gegap gempita. Setiap waktu rakyat kita dapat dibenturkan satu dengan yang lain dalam menyikapi sebuah perubahan lingkungan yang menabrak pranata bernegara yang diatur melalui berbagai perangkat peraturan dan perundang-undangan. Setiap saat negara Indonesia dapat saja dipecah dan mendapat dukungan dari segenap rakyatnya.
Pada tulisan seri sebelumnya, telah kami contohkan tentang dua peristiwa besar di dunia yang terjadi dalam satu dekade, yaitu operasi mindset untuk mendisintegrasi negara Uni Soviet yang sangat kuat secara ideologi, serta mengunifikasi dua negara beda ideologi, Jerman Barat dan Jerman Timur, yang dipisahkan oleh tembok. Ketika kedua peristiwa akbar tersebut terjadi, sebagian besar rakyat di negara tersebut justru menyambut dan mendukung dengan gembira.
Jika kita belajar dari sejarah kerajaan di nusantara, maka kita bisa menemukan runtuhnya kerajaan besar seperti Majapahit, justru tidak disebabkan oleh invasi kekuatan militer negara lain. Sebagaimana runtuhnya Uni Soviet dan bersatunya Jerman, runtuhnya kerajaan Majapahit juga disebabkan oleh operasi mindset yang dilancarkan oleh kekuatan asing.