Bisa jadi bukan soal ngefek dan tidak ngefeknya i tujuan utama acara itu. Barangkali saja kedepannya sebagaimana GP Ansor yang berada di barisan pemerintah Jokowi, Pemuda Muhammadiyah juga akan ikutan.
Tapi rupanya sejarah berkata lain. Walaupun Pemuda Muhammdiyah tidak berpolitik, tapi nama Dahnil Anzar sudah lekat dengan Pemuda Muhammadiyah seperti tidak bisa dipisahkan. Dahnil atas nama pribadi memilih berada di barisan Prabowo.
Selanjutnya, Dahnil tidak lagi menyebut-nyebut kegiatan tabligh akbar yang dibanderol 2 milyar rupiah itu. Bisa diartikan, acara itu batal. Lha, kalau Pemuda Muhammadiyah mengembalikan uang 2 milyar, berarti mobilisasi massa Pemuda Muhammadiyah pada acara apel di Prambanan itu, Pemuda Muhammadiyah mengeluarkan dari kocek sendiri dong?
Tentu saja keterangan ini belum lengkap kalau GP Ansor dan Menpora belum kasih keterangan resmi. Agak aneh memang, dalam kasus ini kan mestinya polisi juga memanggil Menpora dan GP Ansor. Entahlah. Satu hal yang pasti, media mainstream sudah tabayun dengan Dahnil walaupun dalam pemberitaan ada yang sengaja disembunyikan. Dahnil sudah kasih keterangan. Media yang biasanya cari informasi dari berbagai sumber ,lari sana lari sini. Kali ini nampaknya seperti malas bertanya pada Menpora dan GP Ansor.
Maka satu-satunya jalan untuk melengkapi cerita Dahnil, kita tunggu keihklasan Menpora dan GP Ansor memberaikan sedekah keterangan agar cerita ini jadi lebih lengkap dipandang dari sudut camera yang pas, gitu.
Sekarang sisi lainnya. Cara pemerintah menangani potensi konflik di tengah keterbelahan masyarakat nampaknya masih bermain simbol. Dua kekuatan ormas Islam, NU dan Muhammadiyah masih dibutuhkan hanya sebatas simbol.
Dua kekuatan umat Islam ini memang bisa diandalkan untuk kepentingan kedamaian umat. Makanya tidak heran sewaktu ada perbedaan pandangan soal bendera yang dibakar oleh Banser, NU bilang yang dibakar bendera HTI, Muhammadiyah bilang bendera tauhid. Wapres JK cepat ambi langkah, mengumpulkan dua kekuatan itu, bikin pernyataan yang menghilangkan kata lain sesudah kata bendera. Tidak ada lagi kata kalimat tauhid atau HTI. Cukup menyebut bendera saja.
Tidak cukup sampai disitu, NU menyambangi Muhammadiyah buat bikin pernyataan bersama, melawan radikalisme! Cuma soalnya, kelompok mana yang layak disebut memegang isme radikal, kedua ormas Islam besar itu nampaknya masih punya pandangan berbeda.
Sudah menjadi rahasia umum, di samping dua kekuatan secara struktural NU dan Muhammadiyah, ada satu kekuatan di akar rumput yang tidak bisa dipandang sebelah mata, yakni kekuatan ketiga, PA 212. Makanya tidak heran, dalam kasus pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid, walaupun NU dan Muhammdiyah sudah bikin pernyataan bareng di rumah Wapres JK, NU dan Muhammadiyah sudah bikin pernyataan bareng di kantor Muhammadiyah, tapi tetap saja umat yang “bandel” masih berdemo di lapangan.
PA 212 adalah perpaduan NU dan Muhammadiyah di akar rumput. Akar bawah yang tetap sami’na wa atho’na pada para ulama dari kedua ormas besar itu, tapi dari pandangan politik keumatan punya pandangan sendiri yang berbeda dari induknya.
Setelah dibikin kaget dengan tumpleknya jutaan umat di Monas saat aksi 212, SAS mengklaim bahwa yang hadir pada aksi 212 mayoritas warga NU. Makanya tidak heran waktu itu NU dan Muhammadiyah wanti-wanti agar yang ikut demo tidak membawa atribut NU dan Muhammadiyah.