Awas! Balkanisasi Nusantara Melalui Pintu Sentimen Agama

Dalam sejarah konflik, sektarian dianggap menu (isu) terlezat guna memantik konflik-konflik terutama di Timur Tengah sebab warganya cenderung satu ras, satu bangsa. Homogen. Konflik antara syi’ah – sunni, contohnya, atau benturan antarfaksi dalam negara dan lain-lain.

Kembali ke isu sentimen. Sungguh unik, pengobaran massa bermenu sentimen sepertinya tanpa perlu biaya besar bagi para penggeraknya, cukup ditabur narasi kebencian oleh masing-masing buzzer (piaraan), publik pun gemuruh. Gaduh. Bahkan uniknya, pihak massa justru membiayai sendiri hampir di semua pergerakannya. Dan Aksi 212 adalah bukti faktual pembiayaan mandiri oleh massa aksi.

Ya. Penistaan agama sebagai isu yang diusung dalam Aksi 212, ibarat ruh gerakan serta epicentrum yang menyatukan semangat massa dari berbagai aliran agama, sehingga gemanya menggelegar dahsyat di awal abad ke-21. Inilah yang kini tengah berlangsung. Isu sektarian dan isu-isu lainnya tergantikan dan/atau telah diganti dengan isu sentimen (agama) yang hampir menggejala dalam setiap aksi massa dan konflik-konflik di daerah.

Balik lagi ke balkanisasi. Ia adalah konflik horizontal. Konflik antara (sesama) warga dan kelompok/golongan dalam negara berbasis etnisitas dan agama. Sekali lagi, Azyumardi menyebut etno-nasionalis, semangat nasionalisme tumpang tindih antara etnis dan agama. Pakar lainnya menyebut etno-tribalisme. Perpaduan antara etnisitas dan sektarianisme antaragama yang cepat menyala dalam kobaran konflik.

Dan hari ini, agaknya isu sentimen mendominasi pada setiap aksi massa di daerah yang dipicu oleh kejadian di Tol Cikampek.

Pertanyaan menarik menyeruak, “Jika si peremot mengadopsi Yugoslavia, lazimnya balkanisasi nusantara itu bersifat (konflik) horizontal, kenapa kini embrionya cenderung vertikal?”

Jangan terpancing Ibu Pertiwi. Kendati ghost fleet (armada hantu) kian mendekat, waspadai false flag operation sebagai pintu amuk massa yang dipicu oleh si peremot. Yakinlah armada hantu akan kembali menjauh jika di republik ini masih kental rasa persatuan dan kesatuan. Silahkan saudara-saudara memilih mana.

Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.. (sumber: GFI)

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)