1) bahwa senjata jarak jauh negeri tetangga telah ada pembagian dan mengarah kepada kota-kota besar di Indonesia, selain belasan pangkalan militer asing telah mengepung Indonesia;
2) seandainya pecah pun, tidak usah sampai menjadi 7-8 negara, terbelah jadi tiga negara saja pasti berantakan. Mengapa? Selain ALKI dan ZEE bakal kacau, Indonesia juga berubah menjadi perairan bebas dimana kapal-kapal asing hilir mudik sesuka hati;
Fase Ketiga: isu balkanisasi nusantara semakin menguat di ranah akademis karena selaras dengan alur pikir dan/atau isu di era globalisasi bahwa negara bangsa (nation state) seperti Indonesia, contohnya, sudah tidak cocok lagi dan harus diganti dengan bentuk lain berupa negara suku (ethnic state), atau negara kepentingan (corporate state) dan bahkan negara agama (religius state). Jika merujuk alur (pikir) di atas, lepasnya Timor Timur dinilai wajar dan sah-sah saja, tidak dianggap sebagai bencana geopolitik/kedaulatan. Gendeng. Termasuk bila nanti terjadi pemisahan lagi atau lepasnya beberapa wilayah lain. Pertanyaan selidik muncul: “Apakah alur pikir dan isu di atas sekedar konsekuensi globalisasi, atau ia merupakan subversi senyap yang disahkan kepentingan asing di Bumi Pertiwi?”
Hingga hari ini, balkanisasi nusantara tetap sebagai isu elitis —konsumsi elit politik— karenanya kurang membumi di akar rumput meskipun sebenarnya telah berkali-kali dicoba di pinggiran nusantara tetapi selalu gagal dan gagal. Trial and error. Peristiwa Ambon, misalnya, atau konflik Dayak-Madura, ataupun isu Tolikara ialah try out balkanisasi berbekal isu sektarian guna mengeksploitasi kebencian atas keragaman SARA dan perbedaan afiliasi politik. Termasuk isu OPM di Papua sejatinya merupakan protokol balkanisasi;
Fase Keempat: tampaknya si peremot balkanisasi menyadari, bahwa konflik bermenu (isu) sektarian yang selama ini mereka jalankan, tak mampu membesarkan kerusuhan dan tak bisa meluaskan konflik hingga berskala nasional. Konflik yang di-endorse tetap berskala lokal, kedaerahan dan sporadis;