Pokoknya, rata-rata lembaga survai, khususnya Lingkar Survei Indonesia (LSI) yang dipandu oleh Denny JA (DJA), selalu menghibur dan memberikan harapan kepada Jokowi. Mereka tidak mau mengakui kemenangan de-facto Prabowo-Sandi. Bagi DJA, sepanjang tahun dan sepanjang “akal sehat” mereka, Jokowi tetap menang.
Bisa dimaklumi. Sebab, DJA menerapkan metode “cerming keliling”. Ini metode baru di dunia survai. Apa itu metode “cermin keliling”?
Survai “cermin keliling” itu lebih-kurang maksudnya begini. Orang yang disurvai disuruh berdiri di dalam ruangan yang berbentuk oktagon. Ruangan bersisi delapan. Semua sisi ruangan itu dipasang cermin. Sehingga, ke sisi mana pun Anda arahkan pandangan, pasti akan Anda lihat orang (bayangan atau figur) yang sama. Tidak ada bayangan lain.
Nah, dalam survai-survainya, Denny JA menempatkan Pak Jokowi di ruangan oktagon itu. Jadi, semua sisinya akan merekam bayangan atau gambar Pak Petahana. Di mana-mana ada Pak Jokowi. Besoknya, DJA merilis hasil ‘octagon survey’ itu. Pemenangnya pastilah Jokowi.
Bisa dibayangkan betapa mahalnya survai oktagon ini. Ruangan segi delapan dan cerminnya itu diimpor. Investasinya besar sekali. Akibatnya, biaya operasional LSI-DJA masuk dalam hitungan puluhan miliar rupiah. Intinya, dia harus mengirimkan invoice 11 digit-an.
Jadi, hari ini di depan kita semua ada yang ‘menang de-facto’ (Prabowo) dan ada yang ‘menang de-survai’ (Pak Jokowi). [swa]
*) Penulis: Asyari Usman, wartawan senior