Sambutan kemenangan untuk Prabowo menular ke mana-mana. Menjalar ke segala arah; baik secara geografis, demografis, maupun ideologis. Inilah yang disebut “Prabowo unites the Nation”. Dari segi geografis, tidak ada lagi sekat teritorial. Tidak ada lagi klaim “Jawa Tengah kandang Banteng”. Juga tidak terlihat partisi demografi. Misalnya, lihatlah eksodus ratusan pengusaha Tionghoa ke kubu Prabowo-Sandi. Begitu juga secara ideologis. Rakyat dari macam-macam keyakinan reliji mengacungkan ‘salam dua jari’.
Probowo unites the Nation. Prabowo menyatukan bangsa. Beliau menang sebelum bertanding. Begitulah faktanya. Ini kenyataan yang meluas.
Kalau diambil terminologi yang sangat tersohor di dunia hukum, Prabowo pantas disebut ‘menang de-facto’. Menang faktual. Menang di lapangan. Tinggal menunggu legitimasi pilpres 17 April 2019. Menunggu saat dia ‘menang de-jure’.
Semua orang harus bersabar. Kemenangan de-jure itu tidak terlalu lama. Lebih-kurang 100 hari saja lagi.
Nah, bagaimana dengan paslon 01, Pak Jokowi dan Ma’ruf Amin? Mereka juga menang. Itulah hebatnya pemilu/pilpres di negara kita. Bisa terjadi sama-sama menang. Cuma, perbedaannya sangat kontras. Pak Jokowi itu ‘menang de-survai’. Bukan ‘de-facto’.
Apa arti ‘menang de-survai’?
Yang dimaksud ‘menang de-survai’ adalah menang di tangan lembaga-lembaga survai yang bekerja untuk Pak Jokowi. Dalam hal ini, Jokowi-Ma’ruf Amin mereka prediksikan akan menang sekian persen. Persentasenya mewah sekali.