Celakanya, ketidakmampuan Jokowi sebagai presiden, tak hanya menjadi peluang bagi para calo kekuasaan. Inkompetensi itu menyebabkan polarisasi di tingkat ‘grass-root’ (akar ruput). Pepecahan itu sangat nyata. Jokowi, karena tak punya kapabilitas, seratus persen menerima masukan dari orang-orang yang hanya mementingkan agenda golongan minoritas, termasuk minoritas bisnis dan minoritas sosial. Ini menyebabkan aspirasi kelompok mayoritas (khususnya umat Islam) harus dinomorduakan. Harus ditindas.
Para politisi minoritas dan politisi sekuler anti-Islam bersatu-suara meyakinkan Jokowi bahwa penindasan terhadap aspirasi mayoritas adalah formula yang terbaik untuk mengelola Indonesia. Tentu ini fatal sekali. Polarisasi semakin mengeras.
Jokowi maju terus dengan formula ini. Sekarang, beliau berhadapan frontal dengan umat Islam.
Garis yang ditempuh Jokowi ini sangat berbahaya. Dia mengambil risiko besar disebabkan nasihat para politisi busuk. Jokowi percaya kepada mereka. Bergantung sepenuhnya kepada mereka. Padahal, mereka adalah orang-orang yang, sadar atau tidak, telah menjerumuskan Jokowi.
Akibatnya, Jokowi hari ini dikejar-kejar oleh bayangan kekalahan. Dia menggandeng Kiyai Ma’ruf Amin sebagai cawapres untuk menepis anggapan bahwa dia tak suka Islam. Tapi, langkah ini tidak berdampak. Too little, too late. Rakyat tetap melihat Jokowi tak memikirkan umat. Rakyat serentak menolak. Dia dilihat sebagai Presiden yang bisa menjemuruskan Indonesia ke lembah kehancuran ekosospol.
Jokowi ditolak. Beliau tak memiliki kapabilitas dan kapasitas nasional. Dia bukan orang yang bisa memimpin negara. Konon pula negara sebesar Indonesia dengan segala kompleksitasnya.(kl/swamedium)
*Penulis: Asyari Usman, wartawan senior