Mereka yang ‘membantu’ Jokowi itu selalu ‘senyum puas’. Apa maksud ‘senyum puas’? Maksudnya, mereka mendapatkan kepuasan membantu Jokowi.
Seumpama level jalanan, senyum puas itu pertanda baru saja selesai makan lahap di Warteg. Senyum puas karena kenyang. Bisa beli rokok untuk seminggu ke depan. Bisa beli beras 20 kilo. Amanlah untuk tujuh hari ke depan. Bukan tujuh turunan. Karena level jalanan itu maksimum cuma bisa memprediksi ‘life security’ (ketahanan hidup) mereka untuk tujuh hari saja.
Tetapi segelintir pemilik senyum puas, bisa memperkirakan ‘life security’ mereka untuk tujuh turunan. Apalagi mereka yang mengerjakan ‘proyek pengendalian’ boneka. Bisa 14 turunan tak habis-habis ‘life security’-nya.
Kembali ke laptop! Karena Jokowi tak memiliki kapabilitas dan kapasitas, maka bermunculanlah calo-calo kekuasaan tingkat tinggi yang mengendalikan arah pemerintahan Jokowi. Berkumpullah para politisi oportunis yang memerlukan tanda tangan Jokowi. Saking bingungnya Jokowi mengelola pemerintahan negara, sampai-sampai dia harus mengatakan, “Saya tidak membaca apa yang saya tandatangani”.
Sangat mungkin kemampuan yang minim membuat Jokowi, maaf, tak bersemangat ikut di berbagai forum internasional. Empat kali sidang Manjelis Umum PBB di New York tak dihadiri oleh Jokowi. Suatu hari, Oktober 2015, Jokowi memenuhi undangan sebagai pembicara di Brookings Institution di Washington DC. Dia kelihatan, maaf sekali lagi, tidak paham sepenuhnya apa yang dikatakan oleh ‘anchor’ (pembawa acara). Kemudian, dua pertanyaan dari hadirin kepadanya dia jawab dengan enteng, “I want to test my minister”.
Kalangan media pro-Jokowi mengatakan insiden “I want to test my minister” ini membuat sausana santai, penuh gelak-tawa. Padahal, kasus ini sangat memalukan.
Itulah inkomptensi. Yaitu, tak memiliki kemampuan untuk memimpin negara. Inilah presiden yang dinaikkan agar dia bergantung kepada para politisi oportunis. Para oportunis itu tidak memikirkan kemaslahatan bangsa dan negara. Yang mereka utamakan adalah keuntungan pribadi..