Sekarang, kita jawab dua pertanyaan penting di bagian awal tulisan ini.
Pertama, seberapa besar kemungkinan Ahok akan menggantikan posisi Kiyai Ma’ruf sebagai wapres jika Jokowi menang? Kemungkinannya seratus persen. Kemungkinan yang bulat. Telak. Sebab, Jokowi memerlukan fugur yang bisa ‘mengendalikan’ kabinet periode kedua.
Diperkirakan, Jokowi tidak akan lagi memakai Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) untuk menangkis kritik bahwa semua urusan ditangani mantan jenderal itu. Lagi pula, LBP sudah akan terlalu tua untuk dilanjutkan. Jadi, menaikkan Ahok ke kursi wapres menggantikan Kiyai Ma’ruf menjadi sangat mendesak –kemungkinan di awal tahun kedua periode kedua.
Itu dari sisi LBP. Dari sisi Ahok malah lebih krusial lagi. Jokowi sadar betul bahwa kepribadian seperti Ahok, yaitu keras dan meledak-ledak, bisa lebih dahsyat lagi ‘sukses’-nya ketimbang LBP. Ahok bahkan tidak sungkan menggunakan kata-kata kotor dan caci-maki dalam ‘membina’ bawahannya. Jokowi akan menjadi sangat terbantu oleh wapres yang bergaya ceplas-ceplos seperti Ahok. Dia akan menjadi wapres ‘semua bisa’.
Selain faktor kemampuan Ahok untuk membuat bahawan kerja keras, ada juga kalkulasi lain. Para ‘invisible stakeholder’ (pesaham gaib) Ahok sangat berkepentingan untuk mendudukkan mantan narapidana penistaan agama itu di kursi ‘co-pilot’ Indonesia. Mereka ini sangat berpengaruh. Tidak bisa dilawan oleh siapa pun. Jokowi sendiri memahami itu. Sehingga, bisa jadi kita akan melihat akselerasi pergantian dari Kiyai Ma’ruf ke Ahok pasca-kemenangan Jokowi.
Lantas, bagaimana dengan akseptabilitas Ahok di kalangan para pendukung Jokowi? Akankah mereka semua bisa menerima penggantian Kiyai Ma’ruf oleh Ahok nantinya?
Tidak diragukukan lagi. Akseptabilitas Ahok tampaknya tak pernah sompel bagi para pendukung Jokowi. Bagi mereka, predikat penista agama atau narapidana yang disandang Ahok, dianggap tidak ada. Simak saja pernyataan-pernyataan dari para petinggi partai-partai koalisi Ko-Ruf. Semua orang masih sangat hormat dan segan pada Ahok. Bagi mereka, Ahok tidak mengalami cacat nama baik.
Misalnya saja, Jusuf Kalla masih bisa berkelakar ketika memberikan komentar di depan para wartawan. Lebih-kurang JK mengatakan, “Tenang-tenanglah Pak Ahok. Ya, jalan-jalan dulu.” Komentar ini tentu mengandung penghormatan yang sangat tinggi dari JK. Begitu juga para politisi lain.
Semua orang di kubu Jokowi sepakat bahwa Ahok tidak boleh ikut kampanye. Tetapi mereka tak bisa menyembunyikan kekaguman pada orang yang sangat disenangi Jokowi itu.
Kedua, apakah Jokowi berani mengganti Kiyai Ma’ruf dengan Ahok? Aksioma umumnya adalah bahwa di dalam politik tak ada yang tak mungkin. Memang Jokowi akan berhadapan dengan para pendukung KMA. Pak Kiyai tampaknya akan melawan. Tapi, apakah bisa melawan kalau mau diganti?
Wallahu a’lam.
Yang jelas, saat ini ada tengarai bahwa Jokowi sangat memerlukan Ahok di periode kedua nanti. Lagi-lagi, kalau menang. Persoalannya ‘kan kemenangan itu semakin semu, kekalahan yang justru makin nyata.
*Penulis: Asyari Usman, wartawan senior (swamedium)
——-
Buku pilihan pekan ini, sudah terbit, silahkan pesan stok terbatas , klik ini :