Kedua, JK dengan lantang mengatakan bahwa dia menolak Ahok masuk ke dalam TKN Ko-Ruf. Alasan JK, kehadiran Ahok bisa menggerus elektabilitas Jokowi. Benarkah dugaan JK? Kelihatannya tak berdasar. Bahkan sebaliknya, Ahok bisa mengangkat popularitas Ko-Ruf. Karena, ada jutaan orag yang masih sangat setia pada mantan gubernur Jakarta itu.
Soal potensi besar Ahok juga dikatakan oleh pengamat politik dari Indonesian Public Institute (IPI), Jerry Massie. Dia mengatakan, Ahok bisa memberikan keuntungan bagi Jokowi kalau dia bergabung. “Selain memiliki massa yang militan, Ahok pernah menjadi pendamping Jokowi sebagai wakil gubernur DKI Jakarta,” ujar Massie.
JK tak sendirian berpendapat bahwa kehadiran Ahok di kampanye Jokowi bisa merusak suara petahana. Sejumlah senior TKN juga menyatakan kekhawatiran kalau Ahok masuk. Wakil ketua TKN, Abdul Kadir Karding, mengakui kemungkinan Ahok akan menjadi sasaran serang pihak lawan. Sehingga, elektabilitas Jokowi bisa semakin ciut.
Tapi, kembali lagi, apakah kekhawatiran ini punya dasar? Kelihatanya juga tidak. Kegamangan menerima Ahok memang ada, tetapi potensi Ahok tetap sangat besar. Lebih besar dari penolakan JK dan Karding.
Ahok sendiri mangerti bahwa dia sedang ‘disembunyikan’ dulu oleh kubu Jokowi menjelang pilpres 17 April. Dia juga paham bahwa jadwal ‘political comeback’ (kembali berpolitik) untuk dia telah disiapkan oleh kubu Jokowi dan PDIP. Ada isyarat keras bahwa Ahok akan dimunculkan untuk menduduki posisi penting di pemerintahan. Jabatan penting itu diyakini sebagai kursi wakil presiden apabila paslonpres 01 menang pada 17 April 2019.
Diduga kuat, ituah salah satu sebab mengapa Ahok bergabung ke Partai Banteng. Ahok memerlukan kendaraan politik yang memiliki kekuataan besar seperti PDIP.