Di saat tugas KPK belum bisa berjalan optimal, pembentukan lembaga baru di bidang pemberantasan korupsi merupakan upaya memangkas segala kelebihan yang dimiliki KPK. Apalagi saat ini ada pandangan, bahwa KPK lebih memilih menyisir kasus-kasus korupsi di daerah/pinggiran, meski masih banyak kasus besar di wilayah Jakarta. KPK pun hingga sekarang belum menyentuh penetapan calon kepala daerah oleh partai poliltik yang hampir pasti sarat dengan politik uang.
Hal lain yang menjadi pertanyaan atas rencana pembentukan Densus Tipikor adalah proses yang mengiringi rencana lahirnya lembaga baru itu. Jika memang pemerintah memandang perlu lagi adanya lembaga khusus untuk memberantas korupsi, maka mestinya usulan itu diajukan pemerintah dengan melibatkan KPK, DPR, kejaksaan, dan kepolisian yang sama-sama punya kewenangan di bidang itu.
Bila usulan hanya datang dari kepolisian, justru banyak pihak yang meragukan. Bukan tidak mungkin lembaga ini hanya akan menjadi alat untuk beradu posisi tawar terhadap kasus yang mendera instansi tersebut. Bisa jadi, nanti akan terjadi saling sandera antara satu kasus yang menimpa lembaga lain dengan kasus yang ditangani Densus Tipikor. Kalau ini yang terjadi, masalah korupsi tak akan bisa tuntas tertangani.
Tanpa melibatkan dan kesepakatan semua unsur lembaga yang berwenang menangani bidang korupsi, pembentukan Densus Tipikor terasa dipaksakan. Belum lagi kalau membahas anggaran yang akan diajukan. Tito mengajukan ancar-ancar total anggaran sekitar Rp 2,6 triliun.