Nyatanya, polisi itu sama sekali tidak segan untuk bercerita hal itu. Bahkan dia juga menceritakan hal lain lagi yang lebih konyol. Suatu saat dia dan rekannya menangkap para penjudi di suatu lokasi. Para pelaku judi itu kemudian ditahan beberapa hari.
Anehnya, beberapa hari kemudian penjudi itu menelepon polisi yang menangkapnya dan minta izin, di mana agar mereka aman main judi? Bukannya melarang bermain judi, polisi yang menginterogasi saya tadi malah menunjukkan tempat yang aman dari bidikan aparat.
Itu hanya salah satu contoh, betapa institusi polisi masih menjadi persoalan bagi masyarakat dalam proses penegakan hukum di negara kita. Masih banyak cerita lainnya yang lebih ekstrem. Ada orang yang kehilangan helm dan ketika melaporkan ke polisi, justru orang itu malah malah kehilangan kambing (kehilangan uang senilai harga kambing). Demikian pula adagium, bila kita kehilangan kambing, maka setelah lapor ke polisi malah akan kehilangan sapi.
Belum hilang dari ingatan kita tentang banyaknya oknum perwira tinggi kepolisian yang memiliki rekening gendut hingga ratusan miliar rupiah. Sampai sekarang pun kasus ini tak tertangani dengan tuntas. Kemarin pun ada kabar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita rumah perira tinggi polisi yangn nilainya mencapai ratusan miliar.
Dengan kondisi seperti itu, rasanya belum tepat bila kemudian kepolisian membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor). Tujuannya mungkin sangat bagus, ingin mempercepat proses pemberantasan korupsi yang sampai sekarang masih tetap saja masif dilakukan oleh semua tingkatan aparatur negara.