by M Rizal Fadillah
Dalam film Asrul Sani “Apa Jang Kau Tjari, Palupi ?” produksi tahun 1969 diceritakan bahwa Palupi tidak tahan hidup apa adanya dengan Haidar suaminya, pengarang idealis. Berkat teman Haidar bernama Chalil jadilah Palupi artis film. Akibat terayu Sugito, Palupi lepas dari Haidar dan jatuh ke pelukan Sugito, seorang pengusaha kaya. Palupi menikmati kesenangan duniawi. Kecewa atas nasib Palupi, Chalil hanya bisa bertanya “Apa jang kau tjari, Palupi ?”.
Haidar masih sempat menilai mantan istrinya yang hanya mencari kesenangan sekarang. Gumamnya “ia begitu gelisah seolah-olah ingin berlomba-lomba dengan bayang-bayangnya sendiri”. Palupi berucap “Aduh, gelap betul disini”. Chalil berujar ” Yah, di dalam dunia angan-angan, yang terang bisa kelihatan gelap”. Membuat rumah yang tidak pernah ada, bagai dalam mimpi buruk. Sebuah kesenangan dalam kegelisahan.
Jokowi yang tidak bisa hidup apa adanya seusai berkuasa memang gelisah dan ingin tetap berada di ruang kesenangan panjang. Ia lepas dari Megawati dan mencoba hidup bersama Prabowo. Memasuki ruang angan-angan yang sebenarnya gelap.
Ketika tiga periode tidak berhasil didapat, ia menjual Gibran dengan tukaran harga diri. Ketidakpedulian atas penilaian orang banyak. Pantas jika kolega bertanya “apa yang kau cari, Jokowi ?”.
Sugito mengobrol dengan Cholil tentang kehidupan di ruang pesta. Menurut Sugito tamu-tamunya ada tiga model, yaitu :
Pertama, “sesama pengusaha” yang selalu “senyum profesional” memuji-muji sambil mencari kesempatan untuk “menggorok leher saya”.
Kedua, ” pembesar pemerintahan dan orang politik”. Mereka “kembang semusim” disayang-sayang dan dipuji-puji selama masih berkuasa. Ongkosnya mahal.
Ketiga, para “benalu” yang selalu berkantor di kantong saku. Mungkin para punakawan, petugas bayaran yang tingkat kesetiaannya tergantung sisipan isi kantong.
Istana adalah ruang pesta yang berkilau cahaya. Tetapi diisi oleh orang-orang yang gelap mata dan gelap hati. Pemburu fatamorgana kekuasaan palsu. Berkeliling para benalu yang memuji bertalu-talu. Politisi bermulut bau dan pengusaha penggorok berkumpul disitu.
Jokowi di masa akhir jabatan super sibuk menggalang dukungan untuk sang anak. Dikira itu bisa memperpanjang umur kekuasaan. Panjang angan-angan adalah ciri dari hati gelap. Ciri lain adalah perut yang terlalu kenyang, bergaul dengan orang zalim, serta banyak dosa tanpa penyesalan. Demikian sahabat Ibnu Mas’ud menyatakan.
Para petani yang berteriak “wuuuu.. ” saat Jokowi pidato membual tentang hubungan kelangkaan pupuk dengan perang Rusia Ukraina dan kaburnya peserta mobilisasi baik kepala desa atau petani adalah pertanda bahwa rakyat sudah muak padanya. Banyak omong yang bukan hanya tak bermutu tetapi juga tipu-tipu.
Bekerja untuk kesejahteraan diri, famili dan kroni membuat Jokowi nir prestasi. Melakukan pelemahan KPK, membumbungkan harga pangan dan BBM, swasembada hutang, serta membenturkan aparat dengan rakyat dalam konflik agraria. Menurut Majalah Time prestasi Jokowi adalah memundurkan demokrasi, memaksakan IKN dan menyuburkan politik dinasti.
Palupi adalah perempuan yang merasa diri cantik dan mampu menarik laki-laki tetapi selalu gelisah akan usia yang semakin tua. Ia menyuap petugas agar memalsukan KTP, usia diubah dari 32 menjadi 26. Akhir cerita, Palupi pulang duduk di atas mobil sampah dan berhenti di rumah pesta bersama dengan para pemabuk. Ia tidak bisa keluar karena pagar terkunci.
Adakah akhir cerita dari kekuasaan Jokowi seperti dalam film “Apa Jang Kau Tjari, Palupi ?” Entahlah, yang jelas usia kekuasaan semakin pendek, penuh dengan palsu-palsu, duduk di atas mobil sampah, serta berpesta dalam penjara yang berpagar terkunci.
Palupi pernah berseru “Aduh, gelap betul disini”. Itulah kematian dan kehidupan di alam kubur nanti. Penjara bagi orang-orang rakus, khianat dan zalim.
Lalu, ” Apa yang kau cari, Jokowi ?”.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 6 Januari 2023