Sikap Majalah Tempo sangat jelas. Dalam opini berjudul “Siasat Panglima dan Bencana Demokrasi,” redaksi Tempo dengan tegas menyatakan “ Di negara demokrasi, apa yang dilakukan Gatot tidak bisa ditolerir. Seorang Panglima Angkatan Bersenjata yang sibuk berpolitik seharusnya tidak dipertahankan dalam pemerintahan.”
Sebelumnya Direktur Setara Institut Hendardi juga menyebut Gatot sebagai Panglima TNI terburuk sepanjang sejarah reformasi.
Para pengecam Gatot sesungguhnya sudah sejak lama memendam kejengkelan. Kedekatan dan “keberpihakannya” dengan ulama dan umat Islam, utamanya pada hari-hari menjelang Pilkada DKI dan Aksi Bela Islam 212, membuat mereka geram sekaligus curiga.
Para pembenci (haters) Gatot tambah kesal dan jengkel dengan aksinya memerintahkan jajaran TNI untuk menggelar nonton bareng (Nobar) film G30S/PKI di markas-markas tentara. Kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah sebuah isu yang selama ini dipakai oleh sebagian kalangan aktivis Islam untuk menyerang balik pemerintah dan partai pendukungnya, ketika mereka diserang dengan isu intoleransi, anti NKRI dan anti Pancasila.
Tak mengherankan bila kemudian instruksi Gatot untuk menggelar Nobar mendapat sambutan yang gegap gempita. Isu kebangkitan PKI menjadi sebuah bara yang membakar sangat cepat. Isu tersebut ternyata sangat efektif dan membuat banyak kalangan khawatir. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bahkan menyebut isu PKI dimanfaatkan untuk memisahkan Presiden Jokowi dan Megawati.
Semula posisi Presiden Jokowi dalam soal isu PKI tidak begitu jelas. Apakah dia menolak atau mendukung. Sampai kemudian Jokowi memutuskan ikut Nobar di Markas Korem Suryakencana, Bogor. Jokowi tampaknya memilih bergabung dengan arus besar rakyat, terutama umat Islam dan TNI yang sangat gencar menyuarakan kewaspadaan bangkitnya PKI.