Makin besar anda bergantung kepada bantuan seseorang atau kelompok, maka makin besar pula tekanan dan kendali terhadap diri anda. Kalau anda sudah dikendalikan, maka itu artinya anda sudah jadi boneka.
Demokrasi yang awalnya dibuat dengan fungsi utamanya untuk memberi ruang partisipasi rakyat secara penuh agar lahir para pemimpin yang ideal, independen dan berani, namun pada akhirnya yang jadi justru para boneka. Menurut Robert Merton, ini disfunction. Keluar dari tujuan utama demokrasi. Yang diharapkan adalah seorang pemimpin yang berintegritas dan berkapasitas, tapi yang keluar jadi pemenang umumnya justru para boneka.
Kenapa ini terjadi? Karena demokrasi berjalan dalam mekanisme penuh rekayasa dan manipulatif. Pertama, para calon dimanipulasi sikap dan perilakunya agar sesuai dengan persepsi masyarakat pemilih. Tentu, berbasis pada hasil survei. Kedua, sikap dan perilaku ini didukung dan mendapat legitimasi dari mereka yang punya otoritas sosial, yaitu para tokoh, pimpinan ormas, agamawan dan intelektual yang telah lebih dulu dapat bantuan. Ketiga, legitimasi ini disosialisasikan secara masif oleh tim buzzer yang dibayar secara profesional untuk menjalankan tugas ini. Keempat, suara para pemilih tidak lagi murni. Dibeli dan diberikan kompensasi. Kelima, terjadi pengendalian terhadap panitia pemilu dengan menjadikannya sebagai tempat bertransaksi. Dipecatnya dua komisionir KPU adalah bagian dari pembuktian. Keenam, hukum dan aturan tidak jalan, bahkan cenderung dikendalikan untuk sebuah kepentingan seseorang atau kelompok.
Terinspirasi dari teori fungsionalnya Robert Merton, sesungguhnya demokrasi dan hukum berfungsi untuk siapa? Faktanya bukan untuk rakyat, tapi untuk mereka yang berhasil secara sistematis menjadikan kebanyakan dari para elit politik itu sebagai boneka. Kalau begitu, apa yang bisa diharapkan dari boneka-boneka itu? (*end)
Penulis: Dr. Tony Rosyid