Oleh: Prijanto
PERSOALAN kunci, Anwar Usman: ”Jadi yang pasti pemimpin itu bukan hanya melakukan kepemimpinan yang rutinitas, tapi yang paling utama adalah melakukan kaderisasi. Itulah kenapa Nabi Muhammad SAW rata-rata yang diangkat menjadi pejabat pada waktu itu, misal Panglima Perang, kita tahu Khalid bin Walid menjadi panglima tentara waktu itu belasan tahun.
Begitu juga seterusnya, kita tahu dan kita kenal siapa yang merebut Konstantinopel yang sekarang menjadi Istambul, namanya Muhammad Al Fatih. Usia berapa? 17 tahun. Kemudian para pejabat, yang sekarang disebut pejabat, kalau dulu kan Khalifah, Khalifah itu sebenarnya lebih kekuasaannya, lebih besar lagi dari pada Presiden. Itu rata-rata berusia muda”. (Kanal YouTube Unisula, Peran dan Fungsi Mahasiswa yang Maju dan Berkeadilan, (9/9), menit 17.35 hingga 19.13).
Kalimat di atas disampaikan Ketua MK, Anwar Usman saat memberikan kuliah umum di Universitas Islam Sultan Agung /Unisula, dengan judul “Peran dan Fungsi Mahasiswa yang Maju dan Berkeadilan.”
Berarti dari judul, objek pokok bahasan adalah mahasiswa, terkait peran dan fungsi mahasiswa, bukan pemimpin. Mengapa di awal diungkit “tugas pemimpin” dalam kaderisasi?
Patut dinilai dan diduga adanya materi muatan yang tendensius ketika Anwar Usman dengan sadar mengatakan dalam rangkaian kuliahnya beberapa hal, dengan potongan-potongan kurang lebih sebagai berikut:
1. Ini saya tidak berbicara kasus-kasus konkrit yang sekarang diuji di MK dan ditunggu oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk oleh para Capres, masih menunggu putusan MK. Ada yang digugat mengenai batas usia minimum/minimal, dan masuk lagi gugatan yang terkait dengan batas maksimal.
Ini umpama, kalau nanti MK memutuskan bahwa Presiden atau Wakil Presiden batas maksimalnya 70 tahun, berarti akan ada Capres yang gagal. Ini saya belum, tidak mengomentari apa putusannya, maksud saya begitu pentingnya kedudukan Mahkamah Konstitusi. Makanya sekarang masih maju mundur ini pencapresan.
2. Isi kuliah Usman disahut pertanyaan dari salah satu mahasiswa: “…. Putusan yang dinanti-nantikan Capres dan Cawapres yang dimaksud Prof tadi, lebih tepatnya pasal 169 huruf q UU tentang Pemilu. …… dst. Kalau saya, berpacu pada bonus demografi kita, yang dimana usia produktif masyarakat Indonesia itu antara usia 16 tahun sampai 61 tahun. Jadi itu menjadi pencerahan MK selanjutnya, dst.”
3. Atas pertanyaan tersebut, Usman menjawab dirinya tidak bermaksud mengomentari putusan MK, tetapi karena ini di ruangan akademis, agak bebas ya, …. Selanjutnya Usman mengulangi contohnya bagaimana Nabi Muhammad mengangkat Panglima Perang umur belasan tahun, tentang Muhammad Al Fatih, usia 17 tahun, banyak Perdana Menteri Inggris umurnya berapa, dan minta mahasiswa cek di google, kaitan yang diungkit mahasiswa.
4. Kami (Anwar Usman) memastikan MK akan membuat keputusan dengan penuh kehati-hatian dan memegang teguh prinsip keadilan. Pendirian MK untuk menjaga konstitusi supaya prinsip konstitusionalitas hukum berdiri tegak. (www.tnonenews.com/daerah jateng/151476).
Dari cuplikan di atas, tepatlah Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin, mengomentari Anwar Usman kurang etis. Pasalnya Anwar Usman bicara soal pemimpin muda saat MK masih mengadili gugatan batas minimal usia Capres dan Cawapres. (news.detik.com/pemilu/d-6925655/) . Penulis berpendapat, di samping tidak etis, juga patut dinilai tendensius.
Penulis bukan siapa-siapa, deret gelar akademis pun tidak punya, namun bersyukur Allah SWT menganugerahkan daya cipta, rasha dan karsa kepada setiap manusia termasuk penulis. Tuhan telah memberikan hati, pikiran dan panca indra kepada penulis, yang menumbuhkan dorongan ingin sedekah atas pikiran penulis, sebagai cover both sides atas dasar nalar, dan paradigma ilmu pengetahuan, bukan karena perasaan, terhadap yang disampaikan Ketua MK, dengan mengandaikan diri penulis sebagai Ketua MK, sebagai berikut:
1. Sebagai Ketua MK, tentunya harus sadar, mengeksploitasi pemimpin muda dengan contoh zaman Rasulullah, tanpa penjelasan ‘’mengapa’’ dan ‘’apa’’ sebabnya di kala itu terjadi, jelas akan dinilai tidak etis dan tendensius, sehingga hal itu tidak akan penulis lakukan, andaikan menjadi Ketua MK.
Sebab, penulis sebagai Ketua MK paham adanya Peraturan MK No. 1/2023 tentang Majelis Kehormatan MK RI, Pasal 10, huruf f, angka 3 larangan: “mengeluarkan pendapat atau pernyataan di luar persidangan atas suatu perkara yang sedang ditanganinya mendahului putusan.”
Kalimat: “saya tidak berbicara kasus-kasus konkrit yang sekarang diuji di MK dan ditunggu oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk oleh para Capres, masih menunggu putusan MK’’ justru bisa dimaknai sebagai tendensi perkuliahan. Terbukti tergiringnya mahasiswa masuk ke dalam materi gugatan batas usia Capres dan Cawapres.
2. Walaupun kuliah umum sebagai acara ruangan ‘’bebas’’ berbicara, namun bukan berarti kebebasan tak terbatas. Perkembangan Ilpengtek membuat dunia tanpa batas, sehingga dari ruang terbatas bisa menyebar ke ranah publik. Hal ini yang harus penulis pertimbangkan andaikan sebagai Ketua MK.
3. Selaku Ketua MK, penulis sadar, bahwa perbuatan tersebut bisa dilaporkan kepada Dewan Etik MK, berdasarkan Pasal 9 Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi No. 1/2014. Pelapor tidak harus anggota MK, tetapi di luar MK, yang mencintai bangsa dan negara Indonesia, bisa berlapor.
Tata cara pelaporan mudah dan jelas. Nomor 1 mengatur: ‘’Laporan adalah laporan dari perorangan, kelompok orang atau organisasi mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Hakim Terlapor, baik terkait dengan proses penanganan perkara konstitusi maupun di luar penanganan perkara konstitusi.
4. Andaikan penulis Ketua MK, mengetengahkan ‘’asas keadilan,’’ suka tidak suka, berarti sadar gugatan batas usia Capres Cawapres sama dengan gugatan Pasal 222 UU Pemilu yang menuntut keadilan, dan sudah diputus MK, sebagai ‘’Open Legal Policy’’ atau wewenang pembentuk undang-undang.
Putusan gugatan Pasal 222 dinilai tidak adil; Yusril Ihza Mahendra pun melontarkan tuduhannya :“Mahkamah Konstitusi bukan lagi ‘the guardian of constitution’ dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi ‘the guardian of oligarchy.’ Ini adalah sebuah tragedi dalam sejarah konstitusi dan perjalanan politik bangsa Indonesia.”
Perkara Pasal 222 dengan Pasal 169 huruf q memang keduanya bisa disorot dalam asas keadilan. Namun, makna keadilan untuk Pasal 222 dan Pasal 169 huruf q, bisa berbeda jika dikupas secara luas dan mendalam.
Andaikan penulis sebagai Ketua MK, penulis akan menyampaikan kepada mahasiswa bahwa adanya bonus demografi, diiringi perkembangan lingkungan strategis, maka tantangan ke depan semakin berat. Persaingan individu semakin ketat karena perkembangan perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau environment. Ruang dan waktu juga menjadi faktor tantangan dan pembeda di masing-masing zaman dan negara.
Zaman Rasulullah, zaman Kerajaan dan Kesultanan di Nusantara, zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia dibandingkan dengan abad modern masa kini, jelas berbeda tantangannya, yang berakibat kedewasaan individu di setiap zaman beda. Karakter individu, jiwa patriotisme, jiwa juang, militansi, motivasi, dll., yang dilahirkan pada zamannya dapat dipastikan berbeda. Apalagi membandingkan pemuda dari negara satu dengan lainnya yang memiliki kondisi sosial budaya yang beda tentu berbeda pula hasilnya.
Dalam abad modern, seiring perkembangan ilmu psikologi sebagai alat ukur mencari pemimpin, maka ilmu psikologi sudah digunakan sebagai pedoman atau alat ukur di berbagai negara dunia. Buku Brown, D, and Brooks, L (Eds), Career Choice and Development: Applying Contemporary Theories to Practice menjelaskan teori Perkembangan Karier dari Donald Super di tahun 1980-an, bahwa individu di usia 35-44 tahun berada di tahap establishment, dimana individu di rentang usia tersebut masih melakukan uji coba terkait pilihan kariernya, dengan tujuan menemukan yang paling sesuai dengan konsep dirinya.
Di tahap ini biasanya individu baru mulai mengembangkan kestabilan karier lewat pengalaman-pengalaman kerjanya. Sedang di usia 45-64 tahun, individu sudah lebih ajeg di dalam kariernya, dan motivasinya cenderung mempertahankan dan melakukan inovasi dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Terkait usia Capres dan Cawapres dalam perspektif politik & psikologi, mahasiswa dipersilakan buka di cersia.com, publika.rmol.id, teropongsenayan.com, indonews.id, menitriau.com, dll., klik google. Umumnya kaum intelektual, seperti psikolog Wikan Putri L,M.Psi., Dra. Mia Syabarniaty, Dr. Indah R, dll. berkomentar positif. Prof. Dr. Amir Santoso secara politis berkomentar atas artikel tersebut: “…..dalam pengalaman saya, kedewasaan/maturity seseorang tidak ditentukan semata oleh usia. Sebab ada orang yang masih 30an tahun sudah matang (rata-rata usia pemimpin kemerdekaan kita), namun ada juga yang sudah tua tapi masih kekanak-kanakan.”
Komentar ini tampaknya lebih mengkait, siapa yang digerakkan, dialah yang mendapat hidayah dan inayah dari Sang Maha Pencipta.
Dengan demikian, tidak sesederhana yang dipikirkan kebanyakan orang, hanya melihat dari perspektif rentang usia, bonus demografi, usia produktif, dan hak individu, kemudian digunakan sebagai aturan umum, dalam memilih pemimpin. Andaikan penulis menjadi Ketua MK, maka uji kompetensi dan psikotes merupakan syarat utama yang harus dilakukan dalam memilih pemimpin. Kalau ingin diformulasikan dalam bentuk usia di dalam peraturan perundang-undangan, hendaknya melalui riset berdasarkan ilmu psikologi, dll.
Semoga semua sadar, tidak mempermainkan hukum untuk kepentingan politik. Tidak menggunakan hukum sebagai alat politik atau politik determinan hukum. Insya Allah, aamiin. (sumber: RMOL)