Anti Klimaks Soekarnoisme

Mengulang Sejarah

Konstelasi dan konfigurasi politik dan ekonomi dalam pemerintahan orde lama dibawah kepemimpinan Soekarno menjelang kejatuhannya. Menunjukkan  betapa sulitnya mengatur suatu negara sekaligus tampil ekspresif dalam pergaulan internasional, sekalipun pemimpin sekelas Bung Karno. Usia kemerdekaan negara yang belum genap 20 tahun pada saat itu, membuktikan konsolidasi nasional menjadi begitu penting dan utama  ketimbang mengedepankan eksistensialis dan agresifitas pada percaturan global. Terlebih melawan negara-negara yang menjadi episentrum kapitalisme dan menyuburkan imperialisme dan kolonialisme dunia.

Sikap tidak konsisten Bung Karno pada gerakan non blok yang diperjuangkannya sendiri. Membuat Bung Karno membawa Indonesia ke jurang marabahaya, dengan terlalu intim pada  negara komunis yang menjadi representasi kekuatan blok timur. Tanpa disadari Bung Karno, afiliasi politik dan ekonomi yang condong ke Uni Soviet di saat geliat perang dingin, signifikan membangun resistensi kekuatan blok barat yang diwakili Amerika dan negara-negara sekutunya.

Praktis politik luar negeri yang demikian menjadikan Indonesia pada akhirnya hanya sebagai negara yang menjadi irisan sekaligus etalase konflik internasional. Indonesia bukan  hanya negara yang menarik  ditinjau karena faktor taktis dan strategis, menyangkut kekayaan sumber daya alam serta sebagai faktor stabilisator regional dan internasional. Negeri yang bisa disebut baru seumur jagung dan terlalu lama dijajah itu, telah menjadi boneka cantik yang harus direbut dan dikuasai negara-negara kapital dunia.

Bung Karno, terlepas dari kekhilafannnya sebagai manusia, harus lenger dengan begitu terpuruk hingga di  akhir hayatnya. Meninggalkan hitam putih perjuangannya, hitam putih sejarahnya serta hitam putih kebaikan dan kesalahannya sebagai seorang  yang tetap juga sebagai manusia meskipun menjadi pemimpin sekaliber dunia.

Bung Karno yang terlalu dalam berinteraksi dan menjadi daya dukung utama kekuatan komunis saat menampilkan karakter kepemimpinan yang anti imperislisme dan kolonialisme. Harus jatuh menghadapi teori dan politik konspirasi.  Betapapun  fenomenal dan unik Bung Karno mengisi panggung politik perhelatan pergaulan dunia saat itu, Bung Karno adalah pemimpin yang keras kepala dan tak mudah menghentikan ambisinya. Bung Karno tetap kopeh mempertahankan dan bahkan melindungi PKI sebagai anasir komunisme internasional dalam perjalanan  pemerintahannya. Realitas itu yang membawa dampak buruk bagi Indonesia bukan hanya soal krisis ideologi, lebih dari itu melahirkan krisis multidimensi kenegaraan dan kebangsaan. Politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan  hingga keutuhan dan keselamatan Indonesia juga dipertaruhkan. Indonesia nyaris tenggelam setidaknya Pancasila, UUD 1945 dan NKRI mengalami situasi genting pada masa itu. Pemberontakan PKI tahun 1965 menghancurkan segalanya dan memulai segalanya, hingga Indonesia kekinian. Sejarah yang kemudian juga tak kalah hebatnya dalam dinamika politik dan ekonomi, yang diisi dan ditulis sendiri oleh kekuasaan orde baru.

Orde lama dan orde baru telah tergusur dari pentas dan panggung  politik utama secara formal dan normatif. Namun secara substansi, keyakinan-keyakinan ideologi keduanya tak pernah mati. Orde lama yang kental dicap sebagai komunis dan orde baru yang dituduh sangat kapitalistik, merupakan kekuatan laten yang tak pernah mati hingga era reformasi bergulir. Kedua irisan ideologi besar dunia itu seakan menjadi keniscayaan bagi proses penyelenggaraan dan keberlangsungan negara Indonesia. Landasan dan semangat yang berpijak pada pengamalan Pancasila, pelaksanaan UUD 1945 dan mewujudkan NKRI sebagaimana cita-cita proklamasi, terbukti sekedar basa-basi dan menjadi pepesan kosong. Eksistensi negara tak ubahnya seperti pemerintahan kolonial, rezim berwatak militeristik dan anti demokrasi. Sementara rakyatnya hidup menderita menjadi menjadi korban distorsi kekuasaan. Rakyat Indonesia harus pasrah dan rela menjadi korban dari eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa  baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsanya sendiri.

Kini setelah hampir 25 tahun reformasi bergulir, Indonesia tak berubah, tetap menjadi negara pecundang. Bahkan jauh lebih buruk dari orde lama dan orde baru. Sendi-sendi kehidupan negara yang fundamental dan prinsip telah hancur lebur.  Pancasila telah mati setidaknya mati suri, konstitusi porak poranda dan yang paling miris ketika moral bangsa pada titik terendah menghinggapi bukan saja pada aparat, pejabat dan para pemimpin, penyakit ahlak yang kronis dan akut juga telah mewabah hingga ke rakyat jelata di semua penjuru. Hipokrit, penghianatan, ketidakjujuran, perilaku sadis dan dzolim hingga cinta harta, tahta dan dunia telah meresap ke tulang sumsum dan menjadi karakter manusia Indonesia. Bangsa ini secara perlahan dan masif telah berubah menjadi bangsa pembunuh dan menghalalkan segala cara untuk memuadkan nafsu syahwat atas harta, tahta dan wanita.