Anti Klimaks Soekarnoisme

Oleh: Yusuf Blegur – Mantan Presidium GMNI

Terlepas pro dan kontra serta polemik di seputar kehidupan dan sejarah yang menulis tentang figurnya, Soekarno telah lama menjadi ikon dari ideologi kebangsaan yang kuat melekat pada republik ini. Sayangnya setelah setengah abad kepergiannya, pemikirannya yang masih hidup  dan biasa disebut dengan Soekarnoisme atau Marhaenisme itu, lebih kental menjadi komoditas politik oleh keluarga ataupun pengikutnya. Dipakai sebagai alat perdagangan dan transaksi kekuasaan oleh PDIP ataupun petualang politik pragmatis yang menggelutinya. Spiritnya  hanya sebatas simbol dan sekedar jargon semata. Para Soekarnois itu, justru lebih suka membunuh Soekarno berkali-kali bahkan setelah kematiannya.

Kalangan nasionalis kini sedang digugat. Pada sejarah masa lalunya, maupun tindak-tanduknya di masa kini.

Sempat menjadi sumber energi dan bagai api yang menyala-nyala tak pernah padam. Ideologi nasionalis sempat mencapai puncak kejayaannya,  tatkala bangsa ini dalam semangat  pergerakan kemerdekaan Indonesia. Menghidupkan revolusi Indonesia melawan penindasan dari kolonialisme dan imperialisme. Membebaskan rakyatnya dari belenggu penjajahan, tak peduli berapapun harganya tak peduli darah dan nyawa dikorbankan. Namun tak lama usai kemerdekaan dikumandangkan, nasionalisme di tangan pemimpin-pemimpin yang ego, ambisius dan cinta dunia. Telah mewujud menjadi nasionalisme yang “chauvanistic” dan cenderung “facism”.  Nasionalisme yang menggantikan kolonialisme dan imperialisme itu sendiri,  melahirkan diktatorian dan otoriterian bagi rakyatnya sendiri.

Kini setelah  76 tahun menghirup alam kemerdekaan, apa yang terjadi?. Nasionalisme menjadi seperti ayam sayur. Sebuah masakan yang sering menjadi ilustrasi sifat pecundang dan kekerdilan. Gagah berani mengobarkan semangat patriotis mengusir penjajahan di masa lampau, seiring waktu rakyat hanya menjadi menjadi korban dari kekuatan liberaliasi dan sekulerisasi yang sejatinya menjadi representasi kapitalisme modern. Nasionalisme nyaris tak mampu hadir atau menunjukkan keberadaanya saat negara dalam cengkeraman kekuasaan bangsa asing dan bangsa aseng. Pancasila, UUD 1945 dan NKRI terus diperkosa dan teraniaya oleh ideologi yang tak pernah terpikul dan dipikur oleh naturnya Indonesia. Ekonomi, politik dan hukum begitu tak berwibawa, bahkan  kehilangan harga diri dan martabatnya,  rakyat hanya menjadi bangsa kuli di atas kuli.

Simbol sekaligus jargon nasionalis yang dulu  kuat melekat pada pemimpin dan tokoh-tokoh kebangsaan terutama pada figur Soekarno. Menjadikan figur Soekarno seperti magnit yang menyatukan kekuatan revolusioner pada masanya. Kiri, kanan dan tengah sebagai istilah instrumen perlawanan mengusir penjajahan. Martchs Vorming Soekarno menyebutnya, meskipun pada akhirnya semua kekuatan yang menentang imperialisme dan kolonialisme disebutnya sebagai kelompok kiri. Dari situ domain dan irisan Soekarno tidak pernah lepas dari keyakinan dan pengaruh kekuatan kiri, yang dianggap berbasis pemikiran Karl Marx yang kemudian ditafsirkan sebagai ideologi komunis. Setelah orde lama, orde baru dan 24 tahun perjalanan reformasi. Konstelasi dan konfigurasi politik aliran dan ideologi  itu, tak pernah surut mengiringi episode panjang drama dan konflik Indonesia sejauh ini.

Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno bukan hanya sebagai salah seorang  pendiri bangsa dan proklamator kemerdekaan Indonesia. Bung Karno juga menjadi presiden yang berkuasa dengan durasi cukup lama, sembari berkontribusi besar bagi dunia antara lain ikut mendirikan gerakan kekuatan non blok,  menggagas Konferensi Asia Afrika ( KAA), pidato Pancasila yang menggetarkan sebagai ideologi alternatif dunia di Sidang Umum PBB, dlsb. Performans pribadinya juga menguat dengan pelbagai julukan yang memesona seperti pemimpin besar revolusi, penyambung lidah rakyat dan penggali Pancasila. Beragam pesona pada dirinya itu pada akhirnya membuat Bung Karno terjebak pada pertarungan dan kepentingan blok barat dan blok timur yang kala  itu mengusung era perang dingin. Bung Karno harus jatuh dari kekuasaannya, ketika gagal memainkan politik luar negeri dalam rangka membangun kepentingan nasional dan menjaga keseimbangan dari pengaruh pendulum ideologi kapitalisme dan komunisme yang menguasai dunia.

Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang begitu dibangga-banggakan Soekarno, harus terbelenggu, porak poranda dan bahkan  mengalami kehancuran bukan karena semata sebab dampak perang dingin yang dimotori Amerika dan Uni Soviet. Negara yang kaya dan besar secara aspek geografis, geopolitis dan geostrategis, harus mengalami degradasi bahkan kemunduran peradaban akibat pertikaian dua kekuatan adidaya tersebut. Kepemimpinan berkarakter Bung Karno yang gagal menciptakan  keharmonisan dan keselarasan kehidupan politik dsn ekonomi di dalam negeri. Juga posisi tawar negara dalam pergulatan dua ideologi paling berpengaruh demi menguatkan posisi Indonesia di luar dan di dalam negeri, menjadi faktor penting yang memicu tamatnya kekuasaan Bung Karno, tragedi kemanusiaan dan Indonesia berada di titik nadir. Peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965,  menjadi indikator kelalaian kalau belum bisa dibilang kesalahan  Bung Karno, selain dari hadirnya kompetisi dan pemenang pertarungan ideologi kapitalisme dan komunisme yang berimplikasi pada  penaklukan Indonesia.