Oleh: Ust Fathuddin Ja’far
Secara tidak sengaja, vidio pidato mas Gibran saat deklarasi sebagai bacawapres Prabowo jelang pendaftaran ke KPU, pada Rabu (25/10/2023) lalu muncul di layar gadget saya.
Saya coba tonton sampai selesai agar memahami apa sebenarnya yang ada dalam kepala Beliau terkait Indonesia, masa lalu, sekarang, maupun yang akan datang, kalau Allah takdirkan ia menjadi Capres 2024-2029.
Setelah menonton pidato tersebut, pikiran saya melayang ke tahun 1978, persisnya 45 tahun silam.
Alkisah.. Saat saya masuk pesantren tahun 1978, saat itu kelas 3 Tsanawiyah, setiap hari Selasa, kami, para santri ke pasar.
Pesantren menetapkan hari Selasa adalah hari libur pekanan karena hari pasar agar para santri dapat kesempatan membeli berbagai kebutuhan pokok dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan harga di warung-warung sekitar pesantren.
Biasanya, sebelum belanja, kami para santri berjalan-jalan di dalam pasar sambil melihat dan mengamati apa saja yang menarik untuk dicermati atau ditonton.
Di antaranya adalah tukang jual obat keliling yang berpindah-pindah dari satu pasar ke pasar lain untuk menawarkan dan menjual berbagai macam obat yang dimilikinya.
Salah satu yang menarik dari tukang jual obat tersebut adalah pidatonya. Dia dengan PD-nya mengatakan bahwa obat yang dia tawarkan ini adalah sangat mujarab dan dapat digunakan untuk mengobati berbagai penyakit kronis.
Di hadapannya, ada koper warna hitam yang berisikan obat yang dia jelaskan kepada para penonton.
Yang menarik perhatian lagi, ada pula kotak kayu (Box) yang katanya berisikan ular yang sangat berbisa. Anehnya, sampai jualannya tutup, dia tidak kunjung mengeluarkan ular tersebut dan pidatonya selalu muter kepda obat yang ia tawarkan.
Dibantu sound system yang baik, pidatonya menggelegar membuat penonton semakin terkesima. Dengan wajah yang serius, ia mengatakan : ‘Saudara-saudara… Anda sangat beruntung.. Obat mujarab ini saya beli baru saja dari sebuah kapal dari Hongkong”
Pikiran saya mulai merasa aneh dan berkata : Hongkong? Di kota Bangkinang tempat kami nyantri tidak ada pelabuhan, apalagi pelabuhan internasional sehingga kapal-kapal asing dengan mudah bersandar.
Wal hasil… Hati saya mulai curiga dan tidak percaya pada apa yang dia sampaikan dalam pidatonya dengan kata-kata tersusun rapih yang bisa menghipnotis para penonton yang tidak kritis dan punya wawasan di bawah standar.
Dalam hati saya berkata : Mana ularnya? Kok gak dikeluarkan agar penonton bisa melihatnya.
Setiap kali menjelaskan ular berbisa itu, tiba-tida pidatonya balik lagi memuji obat yang ia bawa.
Yang membuat saya merasa aneh lagi ialah, setelah beberapa lama ia berpidato, tiba-tiba 4 -5 penonton mengacungkan tangan sambil menyatakan ingin segera membeli obat tersebut.
Benar saja, ia langsung membuka koper hitamnya dan orang-orang yang mengacungkan tangan tersebut mendekatinya sambil menyerahkan uang menebus obat mujarab itu.
Para penonton lainnya pun ikut mengerumuni si tukang jual obat sambil menyerahkan uang demi mendapat obat mujarab tersebut.
Akhirnya, obatnya laris manis dan ia menutup koper dan lapaknya setelah mendapat keuntungan besar sesuai harapannya.
Dalam hati saya berkata lagi : Kenapa 4-5 penonton pertama mengacungkan tangan secara serentak dan berdiri terpencar di sekitar tukang obat tersebut? Jangan-jangan ini sebuah rekayasa marketing agar para penonton yang tidak kritis dan tidak punya wawasan yang cukup mudah terpengaruh, bahkan terhipnotis.
Beberapa hari setelah itu, salah seorang santri yang terpengaruh sehingga membeli obat tersebut berkata kepada saya : Saya sudah konsumsi obatnya tapi tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap penyakit yang saya derita.
Dalam hati saya berkata lagi : Alhamdulillah, Allah buktikan bahwa tukang jual obat tersebut adalah tukang kecap. Obat yang dia jual itu biasa-biasa saja dan bukan dari Hongkong.
Nah, setelah saya menonton pidato Mas Gibran itu, rekaman otak saya mundur ke belakang 45 tahun lalu, Tukang Jual Obat di Pasar.
Apalagi saat Mas Gibran mengatakan : “Tenang saja Pak Prabowo, Saya ada di sini”. Seketika penonton bertepuk tangan riuh rendah.
Kemudian Mas Gibran menjelaskan berbagai program unggulannya sambil mengacungkannya dalam bentuk banner putih. Ajaibnya, program-program yang disampaikan berupa kartu bla.. bla.. bla.. dan dana abadi pesantren yang sebagiannya sudah ada.
Program-program yang di sampaikan sama sekali tidak menyentuh berbagai problematika bangsa yang sangat kompleks ini sebagai akibat gagalnya pemerintahan sejak negeri ini merdeka dan apa solusinya.
Lebih ajaibnya lagi semua penonton dan MC memuji-muji Gibran setinggi langit, termasuk Prabowo dan para petinggi partai Koalisi Indonesia Maju (KIM). Padahal ada di antara mereka yang bergelar profesor dan bulukan dalam kancah politik praktis nasional.
Pasti banyak masyarakat yang bertanya : ‘Kok bisa ya?”
Ya bisa. Pasti bisa. Kualitasnya sama dengan tukang jual obat di pasar 45 tahun lalau. Kalau penjual obat zaman now, Gen Z, pasti sudah sangat jauh berbeda dan sangat maju. Dengan teknologi digital dan internet, pasti dagangan obat mereka lebih maju, bisa berskala global, bahkan bisa jadi milyarder tanpa harus berbohong kepada konsumen dan berpanas-panas di pasar.
Fakta lapangan membuktikan, politik ala tukang jual obat di pasar 45 tahun lalu masih laku di negeri ini, karena tingkat kecerdasan masyarakat dan daya kritis tidak berkembang kendati negeri ini sudah merdeka sejak 75 tahun lalu. Sebabnya, dapat diyakini karena sistem politik dan pemerintahan negeri ini tidak mencerdaskan masyarakat, tapi membodohinya.
Buktinya, bergelar profesor dan bulukan di dunia politik praktis, tidak serta merta orang bisa menjadi politisi cerdas, visioner, amanah dan profesional.
Seakan, para politisi seperti Mas Gibran dan semisalnya, diciptakan untuk mereka yang kurang cerdas, kritis dan kurang wawasan.
Semoga, pasca Pemilu dan Pilpres 2024 yang akan datang ada perubahan.
Allahu A’lam…