Antara Starling dan Bahaya StarLink, Seperti Ndoro Tuan dan Bedinde

OLEH: ROY SURYO

KATA “Starling” memang sudah lama populer di Indonesia. Pertama karena nama ini bisa merujuk kepada seorang Agen FBI yang protagonis dalam novel “Silence of The Lamb” (1988) yang diperankan oleh Jodie Foster dalam film dengan judul yang sama (1991).

Thomas Harris sebagai penulisnya kemudian meneruskan novel tersebut dengan judul “Hannibal” (1999), namun karena Jodie Foster yang sudah sangat baik memerankan agen tersebut diganti Julianne Moore (2001) kelanjutan sekuel film ini menjadi kurang populer sebelumnya.

Tapi maraknya nama “Starling” di sini sebenarnya bukan karena pemerananan yang cukup apik sosok Hannibal Lecter di kedua film tersebut oleh Sir Philips Antony Hopskins, namun akronim tersebut justru bermakna penjual kopi keliling alias “Starbuck keliling”.

Starling, meski disebut-sebut nama Starbuck, tetapi kopi yang dijual kelilingan ini bukan berasal dari gerai resminya yang kini berjumlah sekitar 500-an di Indonesia.

Kopi racikan Starling ini cukup populer di kalangan komunitas pecinta kopi Indonesia. Walau sama-sama berasal dari Amerika, namun Starbuck aslinya (tanpa keliling) ini sudah didirikan semenjak 31 Maret 1971 di Pike Place Market, Elliott Bay, Seattle, Washington, AS oleh 3 perintisnya yang terdiri atas 2 orang guru (Jerry Baldwin & Zev Siegl) serta seorang penulis (Gordon Bowker).

Sedangkan “Starlink”, huruf akhir belakangnya “k” dan bukan “g” merupakan nama dagang produk jasa layanan teknologi informasi milik Elon Musk, jutawan asal Amerika yang membuat heboh Tanah Air baru-baru ini.

Jadi keduanya memang beda-beda tipis. Selain hanya beda huruf “g” dan “k”, juga memiliki persamaan membuat heboh Indonesia.

Bahkan kalau Starbuck sempat diboikot oleh sebagian masyarakat beberapa waktu lalu karena dituduh mendukung Israel lantaran perusahaan tersebut sempat menggugat serikat pekerjanya, Starbucks Workers United setelah organisasi buruh tersebut mengunggah pesan yang sudah dihapus di X (Twitter) yang menyatakan solidaritas terhadap warga Palestina. Ini membuat gerakan BDS/ Boycott, Divestment, Sanctions atau Boikot, Divestasi, Sanksi berlangsung secara global, sampai ke Indonesia.

Begitu kritisnya sikap masyarakat terhadap Starbuck ini, sampai-sampai ketika ZA, salah seorang Wakil Ketua DPRD Jakarta, anak dari Mendag dan ketua umum salah satu partai pro-rezim ZH, mengunggah foto secangkir kopi Starbuck di Masjidil Haram yang menutupi Kabah beberapa waktu lalu, langsung menuai kritik dan cercaan warganet.

karena ZA dianggap tidak punya empati terhadap gerakan BDS ke Starbuck yang dianggap tidak mendukung Palestina itu. Meski Starbuck Indonesia sudah mengklarifikasi isu soal pro-Israel yang sempat berpengaruh terhadap gerai-gerai Starbuck di Indonesia, memang sebaiknya jangan bermain api kalau tidak ingin tersulut.

Kalau dulu yang heboh sebelumnya adalah Starbuck bukan Starling (akhiran “g”), maka sekarang nama StarLink (akhiran ” k”) benar-benar membuat publik Tanah Air memperbincangkannya.

Bagaimana tidak? Bukan soal pemilik bisnisnya yang bergaya cukup nyleneh dan bahkan sempat beredar foto dirinya yang duduk sendirian bak ndoro tuan di kursi, sementara di belakangnya berjajar para menteri rezim ini laksana inlander.

Foto yang diambil pada 23 Mei 2024 ini mengingatkan kita kepada era penjajahan Belanda silam yang memperlakukan bangsa Indonesia hanya seperti bedinde (baca: jongos)-nya saja, sungguh ironis.

Namun praktik dari foto “ndoro tuan dan bedinde” itu memang bisa tercermin bagaimana republik ini seolah-olah tidak ada apa-apanya menghadapi bisnis StarLink yang baru saja diizinkan pemerintah untuk sekaligus menggelar bisnis provider internet dan telekomunikasi.

Laksana karpet merah yang digelar untuknya, bahkan diberi kesempatan utk berbicara di podium bak kepala negara (mungkin karena minimnya sosok yang hadir) di WWF Bali kemarin, Elon Musk terasa sangat superior dibandingkan pemerintah ini yang inferior di mata dunia.

Citra seolah “negara tak punya marwah” seperti ini menambah citra buruk Indonesia, yan memang sekarang berada di titik nadir dalam pandangan global dunia.

Karena bukan hanya seperti “pungguk merindukan bulan” menanti investasi Elon Musk dengan Tesla-nya membangun pabriknya di Indonesia, untuk sekedar mengambil komponen baterai EV-nya pun masih tanda tanya.

Padahal dulu sampai presiden kita sudah jauh-jauh sowan ke sana dan kemarin memperlakukannya sangat istimewa.

Posisi (ketidakberdayaan) Indonesia ini saya khawatirkan akan terus terjadi kalau awalnya sudah posisi begini, karena sebagaimana saya tulis sebelumnya, berdasarkan data Down Detector Starlink menggunakan satelit orbit rendah (LEO / Low Earth Orbital) yang masih menggunakan IP global. Hal ini  berpotensi membahayakan data pribadi masyarakat dan kedaulatan negara.

Jelasnya Starlink sekarang sudah diizinkan beroperasi di Indonesia, namun masih belum menggunakan IP lokal. Jaringannya langsung tersambung ke Starlink di Amerika Serikat.

Dengan begitu, Pemerintah Indonesia tidak memiliki kontrol atas mereka. Sebagai informasi, alamat Internet Protocol (IP) adalah serangkaian angka yg menjadi identitas perangkat yang terhubung dengan jaringan.

IP ini juga dimiliki oleh komputer, ponsel, ataupun server dari website. Selain itu. penggunaan IP Global bisa memicu praktik perjudian online bisa makin menjamur di Indonesia. Ini karena IP nya tak memiliki NOC (Network Operating Control) di sini, sehingga tidak bisa bisa dicek langsung apalagi diintersepsi.

Indonesia sebenarnya mempunyai regulasi law interception, regulasi yang mengatur terkait dengan penyadapan. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri (PM) Kemenkominfo No.08/2014.

Meski Menkominfo Budi Arie Setiadi dalam siaran live-nya di CNNI kemarin mengatakan kalau StarLink dijamin sudah menggunakan IP lokal, benar? Jangan-jangan ini seperti KPU yang waktu itu berani melakukan kebohongan publik dengan mengatakan data-data tidak disimpan di luar negeri, namun ternyata terbukti di sidang KIP, data-data -sesuai statement awal saya dahulu- disimpan di Aliyun Computing Co.Ltd Alibaba.com Singapore.

Kalau sumber penyimpanan datanya saja sudah bohong, wajar hasilnya pun tidak bisa dipercaya, namun sayangnya masyarakat bisa diperdaya.

Kesimpulannya, sebagaimana warning ATSI (Asosiasi Telepon Seluler Indonesia) dalam diskusi akhir tahun 2023 lalu yan sempat H2C/ harap-harap cemas, sekali lagi bukan H2SO4/ Samsul/ asam sulfat yang sempat jadi trending topic.

Kehadiran StarLink memang bak pisau bermata dua, bisa positif dan negatif. Beberapa syarat ATSI yang sempat diusulkan menurut saya bagus untuk dipertanyakan lagi agar dicapai level playing field yang sama. Misalnya StarLink harus memiliki izin Landing Right (hak labuh) dan memiliki NOC, juga harus membangun DRC (Disaster Recovery Center) di Indonesia, membayar biaya hak penggunaan (BHP) Telekomunikasi dan USO/ Universal Service Obligation. Apakah semua sudah dipenuhi? Kalau belum ya ambyar.

(Penulis adalah Pemerhati Telematika, Multinedia, AI & OCB)

Beri Komentar