Dunia Arab : Antara Islam dan Demokrasi

Pada bulan Januari, kurang dari sebulan setelah Muhammad Bouazizi membakar dirinya, melahirkan aksi protes nasional di Tunisia, dan memaksa Presiden Zine El-Abidine Ben Ali, harus meninggalkan kekuasaannya.

Satu bulan kemudian, Mesir mengalami revolusi yang lebih dahsyat, kemudian menyebar kerusuhan ke berbagai negara lain seperti Bahrain, Yordania, Suriah dan Yaman, Libya, Maroko, dan Aljazair.

Perubahan politik di Tunisia dan Mesir mempunyai efek domino. Di mana satu-satu penguasa di dunia Arab dan Afrika Utara berguguran. Persis seperti musim gugur, yang meluruhkan daun-daun pepohonan. Secara alamiah.

Namun, beberapa bulan terakhir, tampaknya, perubahan melambat. Mengalami jalan buntu. Terutama ketika berkecamuknya perang saudara Libya. Selain itu, para pemimpin pemerintah di Bahrain, Suriah, dan Yaman tidak bergeming menghadapi tuntutan rakyatanya, serta masih belum jelas masa depan mereka. Bagaimana bentuk perubahan yang bakal terjadi di negara-negara itu.

Jadi apa yang terjadi selanjutnya? Apakah lebih banyak perubahan dalam perjalanan sejarah mendatang, dan akan kita melihat puncak dari apa yang disebut dengan "Musim Semi" di dunia Arab? Di mana akan muncul rezim baru yang lebih terbuka, demokratis, dan mengakomodasi berbagai golongan, khususnya Islam.

CNN mengangkat pandangan para ahli Timur Tengah yang menganalisis situasi di dunia Arab. Bagaimana melihat dari sudut pandang tentang masa depan dunia Arab. Adakah akan lahir "Musim Semi" di dunia Arab? Bagaimana "Musim Semi" bergerak menuju "Musim Panas" di dunia Arab?

Julie Taylor, spesialis Timur Tengah pernah tinggal di Mesir selama empat tahun, dan ilmuwan politik di RAND Corp, yang menganilis situasi di dunia Arab, mengatakan, kemungkinan bahwa ia melihat setidaknya dua transisi rezim dalam enam bulan ke depan.

Selanjutnya, Julie mengatakan, salah satunya adalah Yaman, di mana partai yang berkuasa telah mendukung Presiden Ali Abdullah Saleh mengundurkan diri. Keputusan mengundurkan diri dari Ali Abdullah Saleh masih belum jelas, bagaimana sikap selanjutnya pemimpin Yaman itu. Karena kesepakatan atau perjanjian itu, dikawatirkan pihak oposisi menolak isi perjanjian yang akan menjamin dan melindungi Ali Abdullah Saleh dan keluarganya dari tuntutan hukum.

Jika perjanjian ini gagal, maka kemungkinan Presiden Yaman, tidak akan mengundurkan diri. Ini akan memperpanjang kekerasan di Yaman. Ali Abdullah Saleh masih menikmati dukungan militer, dan sedikit dukungan dari luar Yaman. Melihat situasi ini semua fihak semakin frustasi. Langkah yang diambil oleh Dewan Teluk (GCC) yang membujuk Saleh mengundurkan diri dan mendapatkan jaminan dari oposisi agar Saleh tidak diadili, menjadi persoalan yang serius. Karena apakah oposisi benar-benar dapat menjaminnya?

Kemudian perkembangan dan situasi Libya. Di mana sebagian besar pemimpin Barat bersikap menolak setiap resolusi yang tetap memberikan kekuasaan kepada Moammar Gadhafi. Para pemimpin Barat tidak dapat menerima adanya kekuasaan Gadhafi dalam bentuk apapun. Namun, pemimpin Libya itu, tak pernah berpikir akan meninggalkan kekuasaannya yang sudah digenggamnya selama lebih empat dekade. Jadi ini akan terus menjadi paradok dan menimbulkan pergolakan serta kekerasan. Antara ambisi Gadhafi dengan para pemimpin Barat, yang sekarang secara telanjang ikut terlibat dalam penggulingan Gadhafi.

Selanjutnya, Julie melihat Suriah lebih sulit lagi situasinya. Para pengunjuk rasa tak henti-hentinya melakukan gerakan yang menginginkan perubahan. Tetapi, pemerintah Suriah tak bergeming, dan malah menggunakan kekuatan militernya untuk menghadapi aksi sipil itu. Namun – tidak seperti di Yaman – pemimpin pasukan angkatan bersenjata Suriah memiliki komitmen yang tinggi kepada Presiden (Bashar) Al-Assad. Nasib mereka tergantung dengan keberlangsungan rezim, karena mereka berasal dari sekte yang sama, yaitu minoritas Alawiyin (Syiah). Al-Assad juga memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan kekerasan seperti ayahnya Hafez al-Assad yang pernah membantai lebih 10.000 umat Islam di Hama tahun 1982, dan pelindung utama rezim Suraih, tidak lain adalah Iran, yang akan mendukung tindkan yang dilakukan rezim Bashar.

Secara keseluruhan, prospek konsolidasi demokrasi terlihat agak suram. Sebelum revolusi, jaringan kelompok masyarakat sipil telah dikembangkan di Mesir dan Tunisia, menumbuhkan budaya egaliter yang mempromosikan keterlibatan rakyat dalam sistem demokrasi. Tetapi kedua negara itu masih berjuang untuk membangun sistem yang demokratis.

Negara-negara dalam "gelombang kedua" yang sedang mengikuti revolusi Arab memiliki prospek yang meredup. Selain faktor suku, Libya pada dasarnya tidak memiliki sistem masyarakat sipil, dan memiliki kelas terdidik yang lama terisolasi oleh sistem yang diktator. Yaman telah memiliki organisasi masyarakat sipil, tetapi individu yang terdidik lebih sedikit, karena masih terlalu kuatnya peran lembaga negara. Meskipun, Suriah, penduduknya relatif terdidik, hampir tidak ada masyarakat sipil, penghapusan rezim yang berkuasa, kemungkinan bisa berpindah ke konflik sipil antara Alawiyin (Syiah) dan mayoritas Sunni.

Ibrahim Sharqieh, Wakil Direktur Brooking Doha Center mengatakan, "Kami melihat diktator- diktator yang berkuasa untuk melawan", ujarnya. Satu pelajaran yang penting dari Tunisia dan Mesir, bahwa sesama rakyat Arab mereka melihat kediktatoran tidak akan berakhir dengan sendirinya. Meskipun, pada kenyataannya dapat dihapuskan dengan cepat, tetapi tidak seperti yang dipikirkan mereka. Selanjutnya, rakyat dunia Arab terinspirasi oleh kesuksesan rakyat Tunisia dan Mesir, yang berhasil merobohkan tembok yang membuat adanya rasa takut, dan sekarang menggantinya dengan optimisme yang pragmatis bahwa perubahan dapat dicapai.

Namun, bagian lain yang masih tersisa adalah pertanyaan tentang apa yang dibutuhkan untuk menghasilkan perubahan secara demokratis di wilayah itu? Secara khusus, hal ini menjadi semakin jelas bahwa penggulingan rezim diktator yang sangat mudah di Tunisia dan Mesir, yang menjadi tujuan gerakan rakyat itu selanjutnya akan sulit diwujudkan. Karena, Tunisia dan Mesir, di mana paradigma perubahan rezim hanya memakan waktu dalam tiga minggu, mungkin tidak dapat diulang lagi.

Dalam bulan-bulan mendatang, sebuah paradigma baru untuk transisi politik kemungkinan akan muncul di dunia Arab. Kita harus siap untuk melihat situasi yang berbeda untuk menghentikan keresahan masyarakat di wilayah itu. Kemungkinan skenario baru termasuk perang sipil, kudeta, disintegrasi, ketegangan sektarian, intervensi eksternal, internasionalisasi dan situasi politik yang harus dinegosiasikan, ujar Sharqieh.

Negara-negara yang beresiko – terutama Libya, Yaman, Suriah dan Bahrain – tidak mungkin untuk mengikuti jalan seperti yang terjadi di Tunisia dan Mesir. Karena setiap rezim dan rakyatnya di wilayah itu telah menetapkan sendiri dinamika perubahan. Di Tunisia dan Mesir, kita telah melihat adanya orang-orang yang memberikan inginspirasi terhadap orang lain untuk melakukan pemberontakan. Namun, dalam paradigma baru, kami melihat diktator diktator yang ada di Suriah, Yaman, Bahrain, dan Libya terinspirasi untuk melawan.

Memang benar munculnya dinamika baru ini kemungkinan akan membuat proses perubahan politik lebih lama dan lebih rumit. Tetapi terlepas dari berapa lama proses ini memakan waktu, masyarakat Arab telah belajar bahwa saatnya telah tiba bagi diktator yang sudah jumud itu pergi – dan bahwa satu-satunya pilihan pada titik ini adalah untuk bergerak maju dengan seruan untuk kebebasan dan keadilan.

Parag Khanna, Peneliti Senior di New America Foundation, mengatakan, "Dunia Arab memiliki uang untuk memecahkan masalah yang ada di negaranya", ujarnya. "Musim Semi" di dunia Arab akankah menuju ‘Musim Panas", tambahnya. Selanjutnya, Khanna, menebak apa yang akan terjadi di Libya – konsolidasi masih dalam skenario yang sama – ketegangan pasti akan terjadi di Mesir akibat reformasi pemerintah yang goyah dan persiapan pemilihan yang belum jelas. Bahrain mungkin dapat mengatasi protes di jalan-jalan, tetapi harus berbuat banyak untuk mengatasi diskriminasi sektarian yang menjadi inti ketidakstabilan saat ini.

Yang penting, tekanan dari arus bawah untuk akuntabilitas terus berlanjut oleh rakyat, kelompok bisnis dan reformis lain menekanan pencabutan undang-undang darurat, parlemen harus diperkuat dan reformasi ekonomi yang dijalankan. Khususnya yang berkaitan dengan ekonomi di Mesir dan Suriah untuk melonggarkan cengkeraman ekonomi mereka lebih cepat dari elit yang menjadi kroni rezim yang berkuasa.

Peran negara-negara GCC mencakup negara-negara seperti Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab, tetap penting. Negara-negara kaya minyak telah menjadi investor utama di seluruh dunia Arab dan memainkan peran penting dalam membiayai modernisasi ekonomi yang diperlukan struktural kebutuhan daerah.

Ingat bahwa dunia Arab bukanlah dunia ketiga – itu memiliki semua uang yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah sendiri. Pertanyaannya adalah jika dapat mengatasi Arabisme menciptakan adanya saling ketergantungan sehingga lahir trans-Arab.

Feryal Cherif, Asisten Profesor di Departemen Ilmu Politik di University of California, mengatakan, bahwa peristiwa di Tunisia dan Mesir menawarkan pemberontakan di tempat lain di Timur Tengah dan Afrika Utara, dan akan bertemu dengan sukses. Mungkin yang paling mencolok adalah peristiwa yang berlangsung di Suriah, di mana diperkirakan beberapa aksi protes terhadap rezim Bashar al-Assad dan penindasan yang terbata, dan popularitas relatif tetap melindungi al-Assad.

Dalam banyak hal, peristiwa di Suriah paralel dengan yang terjadi di Mesir. Dalam harapan memenuhi tuntutan demonstran, al-Assad menawarkan konsesi setiap – dicabutnya larangan niqab, menawarkan kewarganegaraan untuk Kurdi dan membatalkan undang-undang darurat. Tapi banyak seperti Presiden Mesir Hosni Mubarak, al-Assad tampaknya mundur ke belakang terhadap tuntutan para pengunjuk rasa ‘.

Nasib rezim al-Assad masih merupakan teka-teki. Khususnya, militer setia terhadap rezim Bashar al-Assad, dan secara signifikan mengurangi prospek revolusi yang akan sukses di negeri ini.

Di Mesir, revolusi di negeri itu mengambil manfaat dari LSM, dan pengalaman dengan gerakan mereka, tetapi Suriah memiliki masyarakat sipil yang lebih terbatas dan dibatasi. Data dari LSM mengungkapkan bahwa ada hampir lima kali lebih banyak organisasi masyarakat sipil di Mesir dari pada Suriah. Kecuali pemberontakan Hama pada tahun 1982 dan demonstrasi Kurdi pada tahun 2004, protes politik di Suriah telah kecil jumlahnya.

Semua ini menunjukkan bahwa pengunjuk rasa Suriah memiliki pengalaman politik yang dan bersifat lokal, sumber daya dan jaringan yang lebih kecil, yang dapat mereka memanfaatkan. Kekurangan-kekurangan ini membatasi kemampuan demonstran ‘untuk melakukan tekanan terhadap rezim.

Nader Hashemi, mengajar politik Timur Tengah di Josef Korbel School of International Studies di Universitas Denver, dan dia adalah penulis buku "Gerakan Hijau dan Perjuangan Iran Masa Depan". Gagasan tentang sebuah "Musim Semi" di dunia Arab adalah keliru, karena menganggap bahwa dunia Arab adalah sebuah monolit.

Ya, pemberontakan ini dimotivasi oleh masalah politik dan ekonomi yang sama berakar pada dekade pemerintahan otoriter. Dan, para pengunjuk rasa bercita-cita untuk mencapai tujuan yaitu terwujudnya kehidupan yang demokratis. Tapi setiap negara di dunia Arab berbeda. Masing-masing memiliki cerita internal ltersendiri dan menghadapi msalah yang berbeda yang berkaitan dengan perpecahan kelas, kelmpok minoritas, kekuatan militer, institusi negara, kesatuan, dan orientasi demokrasi dari kekuatan-kekuatan oposisi.

Selain itu, sifat dan karakter bentuk pemerintahan otoriter di dunia Arab – dan kehancuran yang mereka hadapi – tantangan yang berbeda untuk kelompok pro-demokrasi yang berusaha bergerak maju. Ada alasan untuk optimisme bahkan jika kita asumsikan skenario terburuk-kasus di mana kekuatan demokratis digerus di Libya, Suriah, Yaman dan seterusnya. Pemberontakan ini masih akan meninggalkan warisan yang kuat bahwa membangun kekuatan demokrasi di masa depan dapat diwujudkan dengan ditopang oleh keberhasilan seperti di Tunisia dan Mesir, di mana prospek bagi demokrasi tampaknya memiliki peluang yang lebih besar.

Terlepas dari berapa transisi demokrasi tahun ini, kita menyaksikan gelombang baru dalam sejarah yang telah berubah. Hari-hari ini rezim-rezim otoriter Arab berguguran, dan banyak yang berpendapat bahwa Islam dan budaya Arab tidak kompatibel dengan demokrasi adalah salah.

Sekarang Gerakan Islam memanfaatkan demokrasi dengan mendirikan partai politik yang tujuannya untuk terus ikut melakukan perubahan sesuai dengn keinginan yang akan diwujudkannya, yaitu tegaknya nilai-nilai Islam di setiap negara, tanpa harus melakukan pelarutan nilai yang menjadi prinsip dasar gerakan mereka. Apakah ini akan menjadi solusi bagi dunia Arab dan Afrika Utara?

Islam telah memiliki akar yang dalam dalam sejarah yang panjang sejak 1400 tahun yang lalu, mendahului paham-paham yang ada. Perubahan apapun bentuknya, tidak akan melepaskan pengaruh Islam di dunia Arab. Dengan adanya kelonggaran di dunia Arab, semakin memberikan keleluasaan bagi Gerakan Islam mengemplementasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan rakyat di duna Arab. (mh)