Antara Habib Rizieq dan Pinangki, Keadilan Suka-suka yang Dipertontonkan

Istimewanya Pinangki

Ada tiga tuntutan pada jaksa Pinangki Sirna Malasari. Ia terpidana kasus suap, melakukan tindak pidana pencucian uang, dan melakukan permufakatan jahat dalam perkara pengurusan fatwa bebas untuk Djoko Tjandra.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), menjatuhkan vonis 10 tahun, dari tuntutan JPU yang 4 tahun. (Bandingkan kasus Habib Rizieq Shihab pada perkara “bohong” dan “keonaran” yang tidak terbukti, itu dituntut JPU 6 tahun).

Pinangki memang terpidana istimewa. Meski perbuatannya perbuatan nista berat, ia tetap diistimewakan dengan suka-sukanya pengadilan.

Ia yang semula divonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Pusat 10 tahun penjara, melakukan banding pada PT DKI Jakarta. Maka PT DKI Jakarta memberinya korting 6 tahun. Hukumannya ditetapkan jadi 4 tahun.

Alasannya, karena yang bersangkutan masih punya anak kecil. Kok enak .tenan.

Dan JPU tentu tidak berkehendak kasasi ke MA, karena terpidana mendapat keistimewaan pemotongan hukuman luar biasa. JPU tampak “melindungi” garong Pinangki, yang sesama korps Adhyaksa.

Jika orang lalu membandingkan “kesalahan” tidak bersalah Habib Rizieq itu dengan garong Pinangki, yang sama-sama divonis PT DKI Jakarta 4 tahun penjara.

Maka keduanya mustahil bisa diperbandingkan, kecuali pada hukumannya yang sama-sama sesuka-sukanya.

Tapi yang pasti keduanya memang sama-sama ditarget. Yang satu (Habib Rizieq Shihab) ditarget hukuman berat meski ia tidak melakukan kesalahan. Dan satunya lagi (Pinangki) meski garong, ia ditarget dengan hukuman seringan mungkin.

Garong memang tampak dimuliakan, itu terbukti dengan kasus Pinangki. Sedang penegak amar ma’ruf nahi munkar, semacam Habib Rizieq, itu seolah musuh yang mesti dipenjarakan.

Masih berharap pada MA? Tentu berharap keadilan akan diputus MA atas kasus Habib Rizieq Shihab dengan putusan pembebasannya.

Optimistis dalam mencari keadilan atas kasus Habib Rizieq, ini mesti terus diikhtiarkan. Tidak perlulah umat terlampau larut dalam kesedihan panjang atas putusan PT DKI Jakarta.

Mengetuk pintu langit wajib terus digelorakan, agar bantuan-Nya segera ditampakkan. Kita semua jadi saksi atas pengadilan sesat yang terus dimunculkan, yang itu pantas diakhiri dengan campur tangan Tuhan.

Meminta Tuhan ikut hadir, itu sebuah pengharapan tidak sia-sia, bahkan seharusnya. [FNN]

*) Kolumnis. [FNN]