Eramuslim.com – Tengah malam, tanggal 5 oktober 2020 RUU Omnibus Law Cipta Kerja diketuk, dan disahkan jadi UU. Kenapa tengah malam? Kenapa harus di luar waktu umumnya orang bekerja? Sangat mendesakkah? Pertanyaan-pertanyaan ini terus ada di pikiran rakyat.
Rakyat protes. Terutama kaum buruh, mahasiswa, pelajar, dan ormas Islam. Esok harinya, tanggal 6 Oktober 2020, demo terjadi di berbagai wilayah. Serentak. Tumpah ruah mahasiswa, pelajar, buruh dan sebagian aktifis di depan istana, kantor kepala daerah, DPR dan DPRD.
Di sejumlah wilayah, para pendemo bersitegang dengan aparat kepolisian. Saling dorong, dan lempar batu. Sejumlah demonstran kena gebuk, tonjokan dan tendangan aparat. Entah sudah berapa korban berjatuhan, mobil dan fasilitas umum juga ada yang terbakar. Rusuh! Siapa pemicunya? Demonstran selalu disalahkan!
Satu tuntutan mereka: Omnibus Law dibatalkan. Titik! Kenapa? Pertama, cacat prosedur. Memang ada diskusi. Panggil buruh, perwakilan ormas dan para akademisi yang kompeten untuk ikut membahasnya. Tapi, semua hasil diskusi dicatat, dijanjikan, tapi setelah itu dibuang ke tong sampah. Pasal-pasal yang diprotes tetap masih ada saat diketuk jadi UU.
Kedua, sejumlah pasal UU Omnibus Law Cipta Kerja merugikan rakyat. Diantaranya kaum buruh dan lembaga pendidikan. Hak-hak mereka dipreteli. Pesangon ada, tapi berkurang. Upah minimum ada, tapi disesuaikan dengan korporasi. Soal PHK, perusahaan lebih leluasa. Kontrak kerja bisa terus diperpanjang. Belum lagi soal cuti dan seterusnya.
Dua sasaran protes demo kali ini. Pertama, DPR. DPR lah yang mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Kedua, presiden. Sebab, UU Omnibus Law Cipta Kerja berasal dari pemerintah. Pemerintah yang usul ke DPR.