Oleh Asyari Usman
Dalam dua tulisan terdahulu, saya mewanti-wanti hambatan Anies Baswedan untuk bisa menang pemilihan gubernur (Pilgub) Jakarta, 27 November. Dasarnya adalah Presiden Jokowi yang dipastikan akan melakukan segala cara untuk memenangkan anaknya, Kaesang Pangarep.
Supaya berimbang, dalam tulisan ini saya mengangkat optimisme untuk Anies. Bahwa dia bisa menang dengan mudah kalau Prabowo Subianto menunjukkan kemandiriannya. Dan kalau orang-orang yang disandera Jokowi selama ini untuk mendukung skenario dinastinya berani menunjukkan sikap melawan ketika pendaftaran cagub-cawagub di KPU pada bulan Agustus nanti.
Jadi, masih sangat mungkin Anies menang. Banyak yang berkomentar bahwa sehebat apa pun Jokowi melakukan penjegalan, Anies tetap akan menang. Dengan alasan Jakarta lingkupnya kecil sehingga pengawasan oleh para saksi TPS sangat bisa diandalkan. Selain itu, warga Jakarta adalah orang-orang cerdas.
Nah, Anda lupa barangkali. Di pilpres barusan, Anies-Muhaimin kalah dari Prabowo-Gibran. Memang kalah tipis. Prabowo menang 38,249 suara. Anies merebut 2,653,762 suara sedangkan Prabowo mengantungi 2,692,011.
Ternyata, skop Jakarta kecil dan warga yang cerdas tidak menjamin kemenangan Anies. Operasi Bansos dan operasi-operasi lainlah yang menang. Artinya, kalau Jokowi akan melibatkan diri di pilgub nanti, sangat mungkin Kaesang akan menang.
Terus, di mana kita akan mendasari optimisme Anies bisa menang? Ya itu tadi: kalau Prabowo sebagai presiden mengeluarkan peringatan kepada semua pihak, termasuk KPU, Polisi dan ASN agar tidak terlibat langsung atau tak langsung di pilkada seluruh Indonesia, khususnya di pilgub Jakarta. Dan Prabowo bertindak sesuai peringatannya itu.
Mungkinkah Prabowo melepaskan diri dari pembonekaan oleh Jokowi? Sangat, sangat mungkin. Karena dia presiden mulai 20 Oktober. Bahkan kita layak percaya bahwa Pak Prabowo dipastikan tidak akan mentolerir kecurangan pemilu karena beliau sudah dua kali dicurangi berturut-turut. Dia sudah tahu betapa sakitnya kalah dicurangi.
Prabowo telah memperlihatkan isyarat-isyarat keras bahwa dia tidak akan membiarkan campur tangan Jokowi dalam proses pengelolaan negara. Misalnya, dia tidak mau dilantik di IKN dan juga berbagai isyarat tambahan dari mantan Danjen Kopassus itu.
Syarat lain yang diperlukan agar Anies bisa menang adalah kemandirian para ketua umum (ketum) partai politik. Selama ini, Jokowi sangat mendominasi langkah mereka –khususnya ketum Golkar, ketum PAN, ketum Gerindra, ketum Hanura, dan sebagainya.
Para ketum itu sangat bisa melepaskan diri dari Jokowi ketika pendaftaran cagub-cawagub Jakarta ke KPU pada bulan Agustus nanti. Sebagai contoh, Ketum Golkar Arilangga Hartarto beberapa hari menjelang pendaftaran paslon bisa langsung menarik Golkar dari koalisi pendukung Kaesang. Begitu juga parpol-parpol lain yang hari ini “dipaksa” oleh Jokowi untuk mengusung anaknya itu.
Jika ini menjadi kenyataan, diperkirakan jalan Anies menuju Jakarta-1 tidak begitu sulit. Golkar, misalnya, megalihkan dukungan kepada Anies. Pengalihan itu sebetulnya aspirasi mayoritas di Beringin. Menjelang pencalonan Anies untuk pilpres tempohari pernah diberitakan bahwa seorang ketum partai harus melakukan beberapa kali ganti mobil untuk menemui Anies di satu tempat. Untuk menghindari deteksi inelijen. Ketum itu adalah Airlangga Hartato.
Apakah tidak riskan bagi Airlangga mengalihkan dukungan ke Anies kelak menjelang pendaftaran? InsyaAllah tidak. Sebab, masa jabatan Jokowi tinggal sekitar dua bulan saja pada bulan Agustus itu. Tidak mungkin lagi mengangkat potensi kasus hukum ketum Beringin itu. Dan para petinggi instansi penegak hukum pun akan dengan sendirinya enggan melakukan langkah-langkah aneh menjelang akhir kekuasaan Jokowi.
Kalau ini terjadi, maka pendaftaran Kaesang pun bisa gagal. Jalan Anies relatif akan lebih mulus. Dia bisa menang mudah di pilgub Jakarta.[]
30 Juni 2024
(Jurnalis Senior Freedom News)