Andika Perkasa Akan Dipasangkan dengan Puan Maharani di Pilpres 2024

Jokowi terpaksa kompromi

Dalam peta politik sekarang,
yang bisa mencalonkan pasangan presiden – wakil presiden hanya parpol atau koalisi parpol hasil pemilu 2019 yang mendapat kursi 20 persen di DPR atau 25 persen suara pemilih nasional. Yang memenuhi syarat itu hanya PDIP. Sedangkan partai-partai lain harus koalisi. Karena itu PDIP bisa bebas menentukan capres sendiri termasuk kemungkinan mengusung pasangan Andika Perkasa-Puan Maharani. Atas pertimbangan itu pula, bisa jadi Jokowi terpaksa harus kompromi dengan Megawati dan juga Hendropriyono dalam proses pencalonan Panglima TNI. Presiden Jokowi terpaksa membatalkan memilih Laksamana TNI Yudo Margono yang seharusnya mendapat giliran menjadi Panglima TNI sekarang. Jalan tengahnya, bisa jadi Yudo Margono akan dicalonkan Jokowi menjadi Panglima TNI tahun depan setelah Andika Perkasa memasuki usia pensiun bulan Desember tahun 2022. Sehingga pada saat Jenderal Andika pensiun kelak, masa dinas aktif Laksamana Yudo Margono juga tinggal satu tahun.

Sebagian kalangan menilai, di sisa usianya Megawati merasa tidak sabar ingin menyaksikan anaknya Puan menjadi pemimpin negeri ini. Karena itu muncul skenario politik PDIP untuk menggandengkan Andika Perkasa dengan Puan pada Pilpres 2024. Loh bukankah sebelumnya Puan akan dipasangkan dengan Prabowo Subianto? Apalagi dari hasil survei berbagai lembaga, Ketua Umum Partai Gerindra ini elektibilitasnya tertinggi dibandingkan Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Kemungkinan ada kompromi baru dimana Partai Gerindra mau “mengalah” di ajang Pilpres namun partai pemenang kedua Pemilu 2019 ini, akan kembali maju habis-habisan di Pilkada DKI Jakarta dengan mengusung Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sandiaga Uno sebagai Calon Gubernur DKI pada tahun 2024. Atau bisa jadi Partai Gerindra mengusung “calon kalah” dalam Pilpres 2024 nanti.

Meskipun elektabilitasnya tinggi, bisa jadi Prabowo sekarang sudah mulai insyaf dan tahu diri bahwa dia kini sudah berusia tua (70 tahun). Selain itu publik sebenarnya juga sudah bosan dan jengah melihat wajah dan penampilan Prabowo yang selalu nongol dalam setiap ajang kontestasi Pilpres. Sialnya, setiap kali nyapres dia juga selalu gagal. Bayangkan, di tiga kali pelaksanaan Pilpres 2009, 2014, dan 2019, Prabowo Subianto selalu ikut nyapres dan hasilnya amsyiong. Kok elektabilitasnya bisa tinggi? “Ya itu kan hasil penelitian lembaga survey. Semua orang juga tahu, lembaga survey bisa dipesan sesuai keinginan pembeli, ” kata seorang politisi senior.

Kalau tahun 2024 Prabowo memaksakan diri ikut kontestasi Pilpres, diperkirakan akan semakin ambyar. Apalagi kelompok Islam yang semula banyak memberikan dukungan di Pilpres 2019, merasa kecewa dengan pilihan politik Prabowo bergabung dalam Kabinet Presiden Jokowi. Dalam logika politik awam, sulit dipahami dua orang capres yang semula sengit bertarung dalam ajang Pilpres tiba-tiba di akhir pertarungan saling berangkulan dan berdamai. Dalam arena tinju mungkin itu bisa terjadi, tapi kalau dalam ranah politik fungsi parpol adalah mendukung atau menjadi oposisi pemerintah. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kalau akhirnya Prabowo bergabung dengan Jokowi, lalu untuk apa harus ada Pilpres yang telah mengeluarkan banyak dana, tenaga bahkan menelan korban nyawa para relawan dan pendukung capres.