Ketika mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden Pakistan, Pervez Musharraf mengatakan bahwa pengunduran dirinya demi kepentingan bangsa dan untuk mencegah krisis yang lebih mendalam di Pakistan. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan bertolak belakang dengan pernyataan Musharraf.
Insiden serangan bom terjadi di sejumlah tempat. Partai koalisi yang semula kompak ingin melakukan impeachment terhadap Musharraf, justru membiarkan Musharraf ‘bebas’ dari jeratan hukum lewat lobi-lobi politik sejumlah negara Barat. Ujungnya, partai koalisi yang menjadi kekuatan utama di parlemen yaitu Partai Liga Muslim Nawaz Sharif (PML-N) dan Partai Rakyat Pakistan (PPP) pimpinan Asif Zardari-suami mendiang Benazir Bhutto-justru pecah setelah Nawaz Sharif menyatakan keluar dari koalisi karena perbedaan pendapat soal penempatan kembali para hakim, termasuk ketua mahkamah agung Pakistan yang dipecat pada saat pemerintahan Musharraf dan soal pemilihan kandidat presiden pengganti Musharraf.
Sejumlah analis menyatakan, apa yang terjadi di Pakistan pasca mundurnya Musharraf menunjukkan rapuhnya partai-partai politik yang berkuasa di Pakistan, sehingga sulit meprediksikan kondisi Pakistan akan membaik setelah terjadi perubahan pimpinan pemerintahan. Mayoritas pengamat politik mengatakan bahwa jika partai-partai politik di Pakistan masih mendahulukan kepentingan politiknya sendiri daripada kepentingan bangsa, Pakistan masih menghadapi tantangan dan resiko besar, baik dari sisi politik dan pemerintahan, perekonomian dan gangguan keamanan.
Rapuhnya Parpol dan Krisis Politik di Pakistan
Ketika koalisi PML-N dan PPP muncul sebagai kekuatan yang mendominasi parlemen Pakistan, koalisi ini diharapkan akan menjadi ikon perubahan bagi negara Pakistan yang ketika itu berada di bawah Presiden Musharraf, yang dianggap bertindak layaknya seorang diktator karena kerap menerapkan kebijakan sepihak dan sewenang-wenang. Puncaknya terjadi ketika Musharraf secara sepihak memecat ketua Mahkamah Agung Pakistan Iftikhar Chaudhry dan delapan hakim lainnya, kemudian menerapkan kebijakan darurat sipil ketika marak aksi-aksi protes yang mengecam kebijakannya itu.
Sejumlah analis politik berpendapat, kunci keberhasilan Pakistan pasca mundurnya Musharraf tergantung pada kuat tidaknya koalisi kedua partai ini. Sehingga banyak yang menyayangkan ketika koalisi itu akhirnya pecah dengan keluarnya PML-N. Ada dua alasan yang dikemukakan PMLN mengapa mereka keluar dari koalisi. Alasan pertama, PMLN menilai PPP telah melanggar komitmen untuk mengangkat kembali ketua mahkamah agung dan para hakim yang dipecat Musharraf. Alasan kedua, keputusan ketua PPP Asif Zardari untuk ikut mencalonkan diri dalam pemilu presiden Pakistan tanggal 6 September mendatang dianggap telah melanggar kesepakatan koalisi untuk mencalonkan seorang kandidat presiden yang non-partisan.
Bibit-bibit perpecahan antara PML-N dan PPP sebenarnya sudah terlihat sejak bulan Mei lalu, ketika koalisi ingin memutuskan apakah akan memprioritaskan impeachment terhadap Musharraf atau mengangkat kembali para hakim yang dipecat Musharraf.
Sumber-sumber di PPP mengungkapkan, Zardari tidak sepakat untuk memprioritaskan pengangkatan kembali ketua mahkamah agung dan para hakim yang dipecat Musharraf, karena ia khawatir kasus tuduhan korupsi yang diarahkan padanya dan sudah dicabut, akan diungkit lagi terutama oleh hakim Chaudhry. Kekhawatiran Zardari bisa dipahami, karena ia bisa kembali ke Pakistan dari pengasingannya ketika kasus korupsi itu dicabut atas keputusan Ketua Mahkamah Agung Chaudhry.
Pertentangan masalah ini seharusnya sudah selesai, karena hari Rabu kemarin pemerintah Pakistan menyatakan mengangkat kembali Chaudhry dan delapan hakim lainnya. Dengan demikian, saat ini PML-N dan PPP justru berhadap-hadapan untuk saling memperebutkan kursi kepresidenan, karena masing-masing mengajukan kandidat presidennya sendiri.
Melihat kondisi ini, pakar sejarah dan Dekan Fakultas Bidang Kemanusiaan di Universitas Peshawar Dr Ghulam Taqi Bangash mengatakan, ia sudah memprediksikan perpecahan itu akan terjadi. Menurutnya, kondisi partai-partai di Pakistan sangat rapuh dan rawan perpecahan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para agen-agen intelejen dalam negeri dan internasional untuk saling mempengaruhi partai-partai tersebut.
"Ada semacam ego politik yang melibatkan individu-individu dalam partai-partai politik. Dan yang masuk daftar teratas dari individu itu adalah Zardari sendiri, yang bisa berkuasa karena kesepakatan-kesepakatannya dengan Musharraf. Sehingga pada akhirnya akan terjadi kompromi-kompromi politik, " papar Bangash
Kompromi-kompromi politik itu sudah terbukti dengan bebasnya Musharraf dari impeachment dan jeratan hukum. Menurut Bangash, kalangan sipil, birokrasi, elit politik dan militer saling mendukung untuk melupakan keinginan membawa Musharraf ke pengadilan.
"Lupakan saja soal keadilan politik di Pakistan, selama negeri ini tanpa merasa malu masih bergantung pada kekuatan asing, " tukas Bangash.
Rapuhnya pondasi parpol-parpol di Pakistan memberi peluang bagi militer untuk menunjukkan kekuatannya. Dan bukan tidak mungkin memberi peluang bagi mereka untuk merebut kekuasaan di Pakistan dari tangan sipil. Mantan diplomat Pakistan dan mantan penasehat senior mendiang Benazir Bhutto, Iqbal Akhund mengatakan, militer dan badan intelejen tetap akan memegang kontrol atas kebijakan-kebijakan penting di Pakistan, pasca mundurnya Musharraf.
Para politisi Pakistan sepertinya tidak mau belajar dari pengalaman masa lalu, Apalagi Zardari dan Nawaz Sharif sendiri adalah korban kudeta militer di Pakistan.
Pengaruh AS di Pakistan
Suka tidak suka. Ada peran AS dalam menyelamatkan Musharraf dari impeachment di Pakistan, karena bagi AS Musharraf dianggap telah "berjasa" menjadi kaki tangan AS dalam perang melawan terorisme, terutama dalam menghadapi kelompok Taliban dan al-Qaidah yang oleh AS dicurigai membangun kekuatannya di wilayah Pakistan.
Setelah Musharraf lengser, bukan berarti AS akan begitu saja melepaskan pengaruhnya di Pakistan karena Pakistan sangat tergantung pada AS dalam banyak hal. Para analis bahkan yakin, siapapun yang akan menjadi presiden baru Pakistan nanti, dia haruslah presiden yang disetujui AS dan bisa dipastikan tidak akan terjadi perubahan dalam kebijakan-kebijakan penanganan masalah-masalah terorisme di Pakistan. Kebijakan Pakistan dalam masalah penanganan terorisme tetap akan berkiblat ke AS, siapapun presidennya.
Partai Zardari misalnya sudah memperhitungkan bahwa hanya satu sumber kekuatan di Pakistan, yaitu AS yang bisa memberikan bantuan dana lewat birokrasi maupun militer. Jika demikian, apakah lawan politik Zardari, Nawaz Sharif mau mengambil resiko untuk bersikap anti-AS jika ingin meraih kekuasaan di Pakistan?
Menurut analis politik Dr Ghulam Taqi Bangash, perubahan kebijakan luar negeri Pakistan hanya kosmetik yang kelihatannya sangat mengesankan tapi tidak dalam realitasnya. "Mengatur kembali posisi barang-barang di kamar Anda, bukan berarti Anda mengubah struktur bangunannya untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi seluruh rumah, " kata Bangash mengandaikan.
"Pembangunan di Pakistan sangat bergantung pada dukungan ekonomi AS, lewat bantuan-bantuannya. Kebijakan luar negeri Pakistan akan tetap sama karena besarnya pengaruh AS dalam pembangunan di Pakistan, " sambungnya.
Pakistan, tukas Bangash, akan terus melakukan kebijakan perang terhadap kelompok-kelompok yang oleh AS dianggap sebagai kelompok militan. Meski akan menimbulkan banyak kehancuran bagi negara dan rakyat Pakistan dan membuat negara Pakistan makin lemah.
Owen Bennet-Jones, seorang pakar politik dan sejarah Pakistan mengatakan, pendukung demokrasi di Pakistan jumlahnya tidak banyak. Ia mencontohkan pemerintahan Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif yang menurutnya tidak melakukan reformasi yang signifikan di Pakistan. Keduanya malah menyeret Pakistan dalam lilitan hutang luar negeri dan akhirnya baik Bhutto maupun Sharif harus menghadapi tuduhan korupsi.
"Perpindahan kekuatan politik di Pakistan diikuti oleh sejumlah persoalan yang mengatasnamakan ‘akuntabilitas’. Para pejabat dan politisi dikenai tuduhan kriminal, bahkan dipenjarakan atau diperas agar mau mendukung penguasa yang baru, " tukas Owen. Lantas, mau ke mana Pakistan? Apakah sejarah lama akan berulang, sama seperti sejumlah pemimpin dan politisi negara ini yang harus berakhir dengan tragedi pembunuhan? (ln/berbagai sumber)