Rakyat AS tidak akan pernah melupakan peristiwa yang terjadi tepat pada tanggal ini, 11 September tujuh tahun silam. Setiap tahun mereka memperingati hancurnya menara kembar World Trade Center di New York akibat serangan teroris, yang akhirnya mereka tuduhkan ke kelompok al-Qaidah.
Dimulailah kampanye "Perang Melawan Teror" yang dimotori oleh Presiden AS, George W. Bush ditandai dengan invansi AS ke Afghanistan bulan Oktober 2001 dengan dalih mengejar pimpinan al-Qaidah, Usamah bin Ladin yang dituding berada di belakang Serangan 11 September di AS. Di Afghanistan, pasukan penjajah AS berhasil menumbangkan Taliban yang saat itu menguasai pemerintahan Afghanistan, namun tak pernah berhasil menangkap bin Ladin, target nomor satunya yang ketika itu diduga berada di Afghanistan.
AS Mengaku Kalah
Perang belum berakhir. Delapan tahun sudah AS menjajah Afghanistan, menimbulkan kerusakan, penderitaan dan korban nyawa di kalangan rakyat sipil Afghanistan. Ironisnya, hari ini, ketika rakyat AS sedang mengenang para korban Black September, para petinggi militer AS mengakui bahwa dari sisi militer mereka sebenarnya sudah kalah dalam perang menghadapi Taliban dan al-Qaidah di Afghanistan.
Kekalahan itu diakui oleh Menteri Pertahanan AS Robert Gates dan Kepala Staff Pasukan Gabungan AS Mike Mullen di hadapan Komite Militer DPR AS. Oleh sebab itu, keduanya mengusulkan agar AS mengubah strateginya, bukan lagi menggunakan strategi senjata dan peluru.
"Saya tidak yakin, kita akan menang di Afghanistan. Saya melihat strategi militer yang lebih komprehensif untuk bisa menang. Yang dibutuhkan strategi ini adalah truk-truk, guru-guru, hakim dan pengacara yang terlatih, investasi asing, alternatif hasil panen, pemerintahan yang stabil, penegakkan hukum… inilah yang akan menjadi kunci sukses di Afghanistan, " papar Mullen.
Ia menyatakan, jika AS masih ingin meraih kemenangan di Afghanistan, AS harus segera melakukan perubahan strategi itu. "Kita tidak bisa membunuh jalan kita untuk menang. Waktunya sudah sangat mendesak, " kata Mullen.
AS jelas sudah tidak sanggup lagi menghadapi perlawanan dari al-Qaidah dan Taliban yang belakangan ini makin intensif. Itulah sebabnya, Presiden AS George W. Bush merasa harus mengalihkan sebagian pasukannya yang akan ditarik dari Irak, ke Afghanistan.
Bush berdalih situasi keamanan di Irak sudah makin kondusif, sehingga akan menarik 8.000 pasukannya dari Irak. Tapi dari jumlah itu, 4.500 tentara di antaranya akan dipindahtugaskan ke medan perang Afghanistan guna menambah kekuatan sekitar 33.000 pasukan AS yang sudah ada di Afghanistan.
Dari pernyataan Bush, tersirat kalau militer AS kewalahan menghadapi perlawanan para pejuang Islam Afghan. "Serangan Taliban meningkat dalam dua tahun belakangan ini. Sehingga perlu penambahan pasukan, " ujar Bush.
Sejumlah analis memprediksi, Taliban akan kembali menjadi kekuatan di Afghanistan. Serangan-serangan Taliban yang membuat pasukan internasional pimpinan AS kewalahan, menjukkan kelompok ini makin kuat dan maju dalam taktik perlawanan.
Siapakah Taliban?
Banyak versi tentang asal muasal munculnya kelompok ini. Dalam bukunya berjudul "Afghanistan: Taliban’s Return and Future Scenarios", Mutiullah Tayeb memberikan versi yang menurutnya mendekati akurat.
"Pada 3 November 1994, nama gerakan Taliban untuk pertama kalinya di media massa, setelah kelompok ini berhasil menyelamatkan konvoi truk-truk Pakistan di Kandahar dari tangan para tuan tanah, " tulis Tayeb.
Tuan-tuan tanah di Afghanistan sangat terkenal dengan korupsi dan ketidakadilannya. Mereka kerap menindas rakyat kecil dan berperilaku sewenang-wenang. Saat itulah nama Taliban muncul sebagai penyelamat rakyat dan kekuatan anti-korupsi yang bisa menghentikan segala bentuk pelanggaran hukum dan ketidakamanan, utamanya di wilayah Selatan.
"Gerakan Taliban awalnya dibentuk untuk mengakhiri penderitaan rakyat dari pertikaian lokal antara para mujahidin dan tuan-tuan tanah yang korup, " tulis Tayeb.
Lantas apa hubungan antara al-Qaidah dan Taliban? Taliban oleh negara AS dianggap memberikan perlindungan dan dukungan terhadap al-Qaidah. Sebelum peristiwa 11 September, al-Qaidah sudah beberapa kali melakukan serangan terhadap kepentingan-kepentingan AS. Antara lain serangan bom di kedutaan besar AS di Tanzania dan Kenya.
Invasi AS ke Afghanistan pasca peristiwa 11 September dilakukan menganggap Taliban melindungi pimpinan al-Qaidah Usamah bin Ladin. Taliban menolak tuntutan AS agar menyerahkan bin Ladin, Taliban malah meminta bukti bahwa al-Qaidah terlibat dalam insiden 11 September 2001.
Setelah kota Kandahar jatuh ke tangan pasukan koalisi AS pada tanggal 7 Desember 2001, para pimpinan Taliban menyingkir ke daerah-daerah pedalaman di dekat perbatasan dengan negara Pakistan.
Taliban mulai menampakkan diri lagi setahun kemudian, tepatnya tahun 2000. Mereka muncul dengan melakukan aksi-aksi serangan bom. Tayeb membagi kebangkitan kembali Taliban dalam tiga tahap. Tahap pertama tahun 2002-2003 adalah tahap Taliban melakukan restrukturisasi, karena saat fokus AS sudah terbelah ke Irak. Tahap kedua tahun 2004-2005 adalah tahap pengembangan taktik serangan, pengembangan senjata dan pengerahan pasukan ke sejumlah wilayah di Afghanistan. Tahap ketiga tahun 2006-2007 adalah tahap kembalinya Taliban secara utuh dan menyeluruh di mana Taliban mulai mengintensifkan serangan-serangannya.
Ini terbukti dari laporan Dewan Inggris-Amerika untuk keamanan media yang membuat perbandingan jumlah serangan antara tahun 2005 dan tahun 2006. Tahun 2005, terjadi sekitar 900 serangan Taliban terhadap pasukan NATO dan pada tahun 2006, jumlah itu meningkat menjadi 2.500 serangan. Tahun 2005, terjadi 800 serangan bom Taliban yang dipasang di jalan-jalan dan pada tahun 2006 aksi serangan bom itu meningkat tajam menjadi 2.800 kasus serangan bom.
Negara-negara Barat memandang Taliban sebagai kelompok pejuang Islam teroris dan terbelakang. Padahal seorang wartawan Inggris bernama Yvonne Ridley, malah masuk Islam setelah ia ditawan Taliban ketika meliput di Afghanistan dan mengamati cara hidup para anggota Taliban. Ridley, saat ini bahkan menjadi seorang juru dakwah yang sangat membela Islam.
Taliban dan Masa Depan Afghanistan
Ada sejumlah alasan yang mendorong perlawanan-perlawanan keras Taliban terhadap pasukan internasional yang dikomandoi AS. Alasan itu tak lepas dari kondisi internal dan eksternal Afghanistan.
Kondisi internal antara lain, lemahnya performa pemerintahan Afghanistan bentukan AS, makin dalamnya intervensi asing, pembunuhan yang dilakukan NATO terhadap warga sipil serta makin menguatnya kelompok Taliban sendiri baik dari sisi keanggotaan maupun struktur perjuangannya.
Sedangkan kondisi eksternal yang mendorong kebangkitan kembali Taliban, antara lain karena adanya dukungan dari Pakistan. Menurut Mutiullah Tayeb, Badan Intelejen Militer Pakistan (ISI) ikut berperan dalam memperkuat Taliban. Pengaruh eksternal lainnya adalah, eksistensi al-Qaidah yang mengadopsi cara-cara perlawanan di Irak ke Afghanistan dan bantuan dari Iran.
Munculnya kembali kekuatan Taliban, memicu spekulasi akan seperti apa wajah Afghanistan jika Taliban berhasil berkuasa lagi. Yang jelas menurut Tayeb, sulit mengharapkan kestabilan di Afghanistan mengingat kultur negara ini yang terdiri dari berbagai kelompok etnis. Aksi-aksi kekerasan di selatan dan timur Afghanistan akan tetap berlanjut. Sementara Taliban akan memperkuat kontrolnya di kedua wilayah ini.
Kemungkinan lain, pasukan NATO ditarik dan digantikan dengan pasukan perdamaian. Jika skenario ini yang terjadi, dipekirakan akan terjadi negosiasi antara para pimpinan masyarakat di selatan dengan kelompok yang lebih moderat. Kecuali terjadi perubahan strategi perang pasukan NATO di negara itu, dari starategi militer menjadi strategi yang bersifat "kemanusiaan." Biar bagaimanapun, seperti juga di Irak, AS tidak mau begitu saja angkat kaki dan menanggung malu atas kekalahan-kekalahannya dalam perang fisik melawan para pejuang Islam di negeri-negeri Muslim. (ln/iol/aljz/prtv)