Seorang mahasiswi yang dipukuli aparat, yang tersebar dalam video beredar, misalnya, akan memunculkan heroisme. Karena mereka merasa di front depan bertempur dengan kekuasaan.
Heroisme bagi kaum buruh tentu saja juga terjadi. Sebab mereka sedang membela nasibnya. Namun, kesadaran kaum buruh adalah kesadaran nyata. Mereka mempunyai organisasi dan elit-elit buat mengkaji pasal-pasal yang merugikan pada Omnibus Law. Bagimana kalangan kampus?
Profesor dan dosen-dosen dari berbagai perguruan tinggi sudah banyak mengecam UU Omnibus Law ini. Kesadaran mereka juga nyata. Dan tentu saja sebagai cendekiawan mereka harus memilih apakah tetap berada di “menara gading” atau menyuarakan kebenaran.
Saat ini semakin nyata perlawanan dari kalangan perguruan tinggi semakin menggema dan meluas. Faktor ini juga mendukung keberadaan gerakan mahasiswa dan remaja tadi.
Sekali lagi, menuduh adanya aktor penunggang tentu menyepelekan analisis situasi saat ini. Meskipun berbagai ekses telah terjadi, seperti pembakaran, pengrusakan berbagai fasilitas, maupun penjarahan di beberapa tempat.
Anak-anak Revolusi
Anak-anak muda ini adalah anak-anak revolusi. Seperti anak-anak muda di Thailand dan Hong Kong, mereka tampil gagah di jalanan, berdemonstrasi. Sebagian disiksa aparat, sebagian ditangkap.
Namun, perlawanan mereka kelihatannya sudah mempertimbangkan risiko. Kenapa? Risiko terbesar adalah keluar rumah berkerumun di masa Covid-19. Risiko pandemi hanya berani diambil oleh orang-orang tolol atau orang sadar.
Tentu saja demonstrasi mahasiswa dan SMA ini punya tujuan. Begitu juga kaum buruh. Sehingga risiko yang diambil pasti dipilih dengan mempertimbangkan tujuan kemanusian, yang mulia.
Kedua, risiko dipukulin aparat sudah bukan hal baru bagi anak-anak muda itu. Justru mereka sudah melihat ganasnya aparat dalam menangani demo. Bahkan, berita terbengis terakhir adalah mahasiswa demo di Kendari dibubarkan dengan Helikopter, sebuah keganjilan baru di dunia.
Mereka adalah anak-anak revolusi karena mereka berani mengambil risiko besar, baik pandemi maupun kekejaman aparat. Dan mereka telah menyadari tujuan dari demonstrasi itu sendiri, yakni membela hak-hak rakyat.
Penutup
Demonstrasi anak-anak muda belia berkibar di Indonesia. Orang-orang tua sebagian menangis melepas anak-anak itu menemukan kekerasan di jalanan serta juga risiko Covid-19.
Risma memaki-maki anak-anak muda itu karena dari luar Surabaya merusak kotanya Risma. Anies Baswedan tersenyum minta anak-anak muda pulang dulu karena sudah malam. Airlangga Hartarto menuduh ada penunggang. Mahfud MD menuduh ada aktor-aktor dan akan ditindak tegas.
Perlawanan mahasiswa, buruh dan anak-anak STM/SMA ini adalah peristiwa revosioner dalam sejarah. Sebab, risiko perjuangan terlalu besar dan tujuan perjuangannya terlalu mulia (menolak UU penindasan).
Namun, sejarah akan menemukan jalannya sendiri. Revolusi akan mencari jalannya sendiri. Berbagai elemen dan ekosistem dalam sebuah revolusi maupun perubahan sosial besar harus dimaknai secara benar. Di antaranya adalah lahirnya elemen anak-anak revolusi itu.
Saatnya semua pihak membaca situasi secara benar. Melihat dalam bingkai demokrasi. Agar menempatkan analisis sosial secara tepat demi menghormati keberadaan anak-anak revolusi ini.
(Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan, CEO Sabang Merauke Circle)