Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi
Presiden Nusantara Foundation
Sekitar lima belas tahun silam, tepatnya di tahun 2009, saya bersama 100 warga imigran lainnya menerima penghargaan Ellis Island Honor Award. Penghargaan ini diberikan kepada para imigran atau anak cucu imigran yang dianggap berjasa berkontribusi kepada negara ini. Bersama saya ada beberapa nama besar, antara lain Jenderal Abi Zayd mantan panglima perang Amerika di Irak, John Podesto mantan Jubir Presiden Bill Clinton, dan penyanyi legendaris Hispanic, Gloria Stephane.
Sejak dimulainya pemberian penghargaan itu setahu saya baru dua orang Islam yang menerima. Selain saya dan pentinju legendaris dunia beberapa tahun sebelumnya. Keduanya kebetulan bernama Muhammad Ali. Di Amerika biasanya hanya nama awal (first name) dan nama belakang (last name) yang lebih diekspos.
Ketika itu saya bangga, merasa terhormat, dan tentunya bersyukur bahwa Amerika yang selama ini biasa dikenal kurang bersahabat dengan pendatang justeru memberikan penghargaan kepada imimgran seperti saya dan Muslim pula. Kebanggan saya itu karena memang saya anggap Amerika adalah rumah saya seperti yang dirasakan oleh orang-orang Amerika lainnya.
Ellis Island adalah sebuah pulau kecil seberang kota Manhattan. Berada di antara pulau Manhattan dan sebuah pulau di mana Lady Liberty berdiri tegak. Di sanalah sejarahnya para pendatang ke negeri ini pertama kali mendaratkan kaki di saat kedatangan. Sehingga dengan sendirinya Ellis Island dikenal sebagai the gate of immigration atau pintu kedatangan para imigran.
Dengan patung lady Liberty di seberangnya kota New York merupakan simbolisasi Amerika sebagai negara yang menjunjung tinggi kebebasan sekaligus membuka pintu selebar-lebarnya bagi imigran untuk menjadi bagian dari “fabric” American society.
Amerika adalah negara imigran
Bukan rahasia lagi dan semua orang iuga tahu bahwa Amerika adalah negara imigran. Mereka yang berkulit putih dan kerap merasa paling Amerika (more Americans) juga sadar bahwa sejarahnya mereka juga adalah pendatang. Mereka pada umumnya melarikan diri dari benua Eropa karena kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi pada masanya.
Kedatangan para imigran atau tepatnya pengungsi Eropa ini menjadikan penduduk asli Amerika (Native American) dari masa ke masa semakin termarjinalkan, bahkan cenderung tereliminir. Mereka dipaksa menyerahkan tanah dan kepemilikan mereka kepada pendatang Eropa. Bahkan diusir dan berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya.
Di bulan Nopember ini kita kembali diingatkan akan sebuah perayaan yang disebut “Thanksgiving”. Perayaan ini mengingatkan kita sebuah kenyataan pahit. Karena sejatinya perayaan ini adalah perayaan kaum kulit putih (baca Eropa) atas keberhasilan mereka merampas tanah dan kepemilikan penduduk asli Amerika (Native Americans).
Pengungsi dari Eropa yang masih dekat di memori kita barangkali adalah pengungsi komunitas Yahudi yang melarikan diri dari kekejaman Eropa (Nazi) di bawah pimpinan Hitler. Amerikalah menjadi destinasi mereka melarikan diri dari pembantaian tentara Hitler itu. Walaupun awalnya mereka ditolak bahkan dihinakan kini mereka telah jadi salah satu komunitas yang kuat di negara ini.
Sebaliknya warga kulit hitam (Afro Americans) mereka datang ke negara ini bukan karena melarikan diri. Tapi karena mereka dipaksa oleh penjajah Eropa dari Afrika saat itu. Maka sejatinya Afro Americans tidak dikategorikan sebagai imigran, tapi budak-budak kulit putih yang didatangkan ke negara ini.
Demikian seterusnya Amerika tumbuh besar, berkembang dan berhasil menjadi negara maju dan kuat karena masyarakatnya yang datang dari berbagai penjuru dunia bersama-sama membangunnya. Dan semua mereka memiliki sejarah dan hak yang sama sebagai bangsa Amerika.
Karenanya Amerika, mau atau tidak, menerima atau menolak. Sadar atau tidak, berani atau phobia, kenyataannya memang adalah negara imigran. Kota New York barangkali adalah kota paling metropolitan dan sekaligus paling ragam, tidak saja di Amerika tapi di dunia.
Secara ras, etnis, warna kulit, bentuk wajah, bahkan kultur, budaya dan agama, hampir semuanya ada dan menyatu dalam kesatuan bangsa dan negara Amerika. Maka sangat wajar jika istilah “united states of America” tidak saja simbolisasi kesatuan dari lima puluh negara bagian itu. Tapi juga simbolisasi dari kesatuan sekaligus keragaman yang luar biasa.
Arogansi kaum putih
Kebutaan sejarah atau pembutaan sejarah Amerika memang sangat terasa kuat. Warga Amerika kulit putih yang sejatinya adalah juga pendatang atau keturunan imigran Eropa tiba-tiba terbalik dan seolah mereka adalah warga Amerika asli (pribumi). Sebaliknya siapapun yang berkulit non putih dipersepsikan seolah merekalah pendatang atau non pribumi (immmigran).
Pembalikan sejarah ini menjadikan warga kulit putih merasa memiliki privilege atau kelebihan dari warga lainnya. Dengan dukungan sistem (systemic support) mereka cenderung melakukan apa saja untuk menjadikan non putih seolah bukan warga Amerika yang punya hak kesetaraan. Pergolakan sosial antara kulit hitam dan warga kulit putih di tahun 60-an menjadi catatan sejarah kelam Amerika.
Terpilihnya Barack Obama beberapa tahun lalu meruoakan sejarah besar yang terjadi dalam perjalanan bangsa Amerika. Belum berselang lama sejak pergerakan warga kulit hitam di bawah pimpinan Martin Luther Jr. Amerika berhasil memilih seorang non putih menjadi presidennya. Tentu sebuah sejarah yang harusnya membanggakan bangsa ini.
Akan tetapi di balik kebanggaan itu ternyata juga meninggalkan luka di kalangan mayoritas kulit putih. Setelah sekian lama merdeka Amerika ternyata belum sepenuhnya siap dipimpin oleh seorang non putih, yang dianggap bagian dari minoritas. Dan sekali lagi, asumsi kuat itu masih ada bahwa non putih adalah immigran yang harusnya tidak memiliki atau pantas memimpin negara warga putih ini.
Ketidak senangan (displeasure) yang dirasakan oleh sebagian besar warga kulit putih itu terwakili oleh sikap Donald Trump dan petinggi Republikan yang melakukan upaya apa saja untuk menghalangi bahkan menjatuhkan Barack Obama. Donald Trump misalnya ketika itu mencari sekuat mungkin akte lahirnya karena dicurigai lahir di luar negeri. Maklum ayahnya adala seorang warga Kenya dan hanya pernah sekolah di Harvard University bersama ibunya.
Sentimen kebencian sebagian besar kulit putih terhadap Presiden Obama itulah yang berhasil dimainkan oleh Donald Trump dalam kampanye pada periode pertamanya. Modal rasisme menjadi salah satu modal utama kemenangan Donald Trump saat itu. Dan pada tingkatan tertentu modal rasisme ini masih menjadi senjata Donald Trump dalam melawan Kamala Harris baru-baru ini. Walaupun tidak sevulgar ketika di pilpres periode pertamanya.
Kita masih ingat bahwa dalam pemilihan presiden di Amerika baru saat itu kandidat Donald Trump secara terbuka dan terang-terangan didukung oleh kelompok kristen radikal yang dikenal juga dengan KKK. Dan dukungan ini tidak juga diingkari oleh sang calon (Donald Trump) ketika itu.
Dengan terpilihnya Donald Trump di periode pertama itu kelompok ekstrim putih yang dikenal dengan “White Supremacist” semakin menjadi-jadi. Jika di masa lalu merek kerap menterror imigran dan kelompok minoritas lainnya sebagai prilaku sporadis di sana sini, dengan kemenangan DT mereka seolah mendapat justifikasi sistem. Artinya tindakan rasisme kulit putih dan kekerasan yang biasa mereka lakukan seolah sudah menjadi bagian dari kebijakan pemerintahan Amerika.
Hal ini didukung oleh beberapa kebijakan dalam yang diambil oleh pemerintahan Donald Trump yang dinilai sangat anti non White ketika itu. Dari kebijakan melarang orang Islam (Muslim ban) dengan Executive Order I dan II, hingga kepada kebijakan untuk mendeportasi secara masif warga yang tidak bersurat (undocumented). Bahkan ada upaya upaya untuk menghapuskan hak warga negara (citizenship) melalui kelahiran, sekaligus penghapusan hak sponsorship untuk “immediate family” dan spousal sponsorship (sponsor suami-isteri).
Amerika sebagai pulau impian
Sejujurnya tidak ada seorang manusia yang mau meninggalkan tanah leluhurnya. Terkadang sesulit apapun itu kecintaan kepada tanah kelahiran menjadi bagian dari kehidupan seseorang yang tak terpisahkan. Bahkan seorang nabi Muhammad SAW pun tidak mau meninggalkan tanah kelahirannya Mekah jika bukan karena perintah Allah SWT.
Tapi kenapa banyak orang yang berkeinginan dan terus berdatangan ke Amerika? Apakah memang Amerika begitu menarik bagi banyak orang sehingga berjuang untuk bisa datang dan tinggal di negara ini?
Selama ini kita dengarkan jika banyak orang yang ingin datang ke Amerika karena Amerika disebut negara impian yang kerap disebut “American Dreams”. Bahwa mereka yang datang ke negara ini membawa seribu satu impian, dan seolah Amerika memiliki kemampuan untuk mewujudkan impian itu.
Saya barangkali termasuk salah seorang yang salah memahami apa arti dari America Dream itu. Saya dan banyak orang memahami seolah impian yang dimaksud sekedar peluang ekonomi (economic opportunities), peluang pendidikan (educational opportunities), dan berbagai pertimbangan material duniawi sifatnya.
Kenyataannya persepsi itu kurang tepat. Bahwa Amerika memiliki peluang ekonomi, pendidikan yang baik, jaminan kesehatan yang baik, dan lain-lain benar. Namun lebih dari semua itu, dengan melihat latar belakang para imigran yang datang ke negara ini umumnya bukan sekedar karena peluang-peluang itu. Tapi ada tujuan yang lebih penting dan mendasar. Mereka memimpikan kebebasan dan keadilan yang semua. Dan Amerika menjanjikan itu.
Barangkali semua imigran yang datang ke negara ini, termasuk yang berkulit putih dari Eropa, datang karena mencari kebebasan dan keadilan yang kerap tidak didapatkan di bagian dunia lainnya. Mereka hadir di negara ini mencari secercah harapan dan impian itu.
Mungkin kita mengecualikan Columbus yang memang datang ke “pulau baru” (new land yang belakangan bernama Amerika) bersama kekuatan penjajah Eropa ke Amerika karena faktor-faktor material dan ekspansi kekuasaan.
Selain dari Columbus, semua datang melarikan diri ke Amerika karena dipaksa oleh kekerasan dan peperangan di negara asal mereka. Atau sebaliknya karena memang melihat bahwa Amerika itu memiliki nilai-nilai tinggi dalam kebebasan dan keadilan untuk semua.
Kebebasan dan keadilan untuk semua itulah yang dikenal dengan “American values” bahkan menjadi nilai-nilai Universal atau Universal values. Tidak jarang Amerika dan sekutunya (khususnya negara-negara Eropa) menjadikan nilai-nilai itu sebagai alasan untuk terlibat dalam urusan global bahkan urusan negara lain.
Dengan kata lain para imigran dari dulu hingga saat inipun datang ke Amerika karena melihat peluang untuk ikut menikmati nilai-nilai universal yang dijunjung tinggi Amerika itu. Mereka melarikan diri dari daerah-daerah konflik atau dari negara-negara yang memang dikuasai oleh penguasa diktator. Sehingga kedatangan mereka ke Amerika memang mencari “American Dreams” seperti kebebasan, keadilan, kesetaraan, toleransi, dan peluang untuk mendapatkan kebahagiaan (pursuit of happiness).
Dengan terpilihnya Donald Trump (atau siapa saja dalam hal ini), lalu menjadikan imigran sebagai musuh yang harus dimarjinalkan menandakan bahwa Trump dan siapa saja yang berkuasa di negara ini buta sejarah dan tidak memahami nilai-nilai yang menjadi impian semua pendatang itu. Jika kemenangan Donald Trump justeru melahirkan prilaku diskriminatif, perlakuan semena-mena, dan bahkan mempersulit dan berencana mengusir kaum imigran dimaknai jika Amerika telah kehilangan jati dirinya. Baik sebagai negara imigran dan juga sebagai negara dengan impian (nilai-nilai) tadi.
Perlakuan kepada imigran dengan cara-cara yang paradoksikal dengan “American Values” (freedom dan justice for all) itu hanya akan semakin menjadikan negara ini berwajah buruk di dunia internasional. Dengan berbagai kebijakan luar negeri Amarika yang selama ini memang sudah buruk, perang Irak, bantuan militer untuk penjajah Israel, dan banyak lagi, akan semakin menjadikan Amerika semakin berwajah buru, bahkan kehilangan penghormatan (respect) dan simpati dari dunia internasional.
Harapannya, dengan terpilihnya Donald Trump pada priode kedua ini dengan dukungan besar dari immigrant dan minoritas harusnya menjadi lebih bijak dan sadar akan siapa bangsa Amerika dan nilai-nilai yang dibanggakannya. Pernyataan-pernyataan apalagi kebijakan-kebijakan yang anti minoritas dan imigran, termasuk anti Muslim justeru merusak bahkan membahayakan bagi Amerika sendiri.
Semoga Trump lebih baik dan bijak di periode kedua ini. Harapan itu ada. Walaupun terasa sangat kecil. Tapi kita diingatkan: لا تقنطوا من رحمة الله… “jangan pernah putus ada dari kasih sayang Allah”. InsyaAllah!
NYC Subway, 13 Nopember 2024
(sumber: Fajar)