Oleh: Risman Muchtar
(Wakil Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat)
Di depan peserta pelatihan standardisasi Dai MUI saya pernah menyampaikan bahwa peluang dakwah di Indonesia masih sangat terbuka lebar. Di Singapura dan di Malaysia jika anda mau ceramah atau Khutbah Jum’at harus ada lisensi atau surat izin dari pemerintah atau pemegang otoritas tempatan. Selain itu anda juga tidak bisa menyampaikan tema atau konten ceramah atau khutbah yang tidak sejalan dengan Mazhab yang diakui oleh Negara.
Di Negara Saudi Arabia, jika anda berkhutbah dengan tema politik apalagi yang berisi kritik atau koreksi terhadap kebijakan pemerintah, ada harapan anda langsung diturunkan dari mimbar khutbah dan diganti dengan khatib yang lain, karena rakyat tidak boleh bicara politik sembarangan, urusan politik menjadi domain pemerintah.
Di Indonesia khutbah dan ceramah tidak perlu mendapat izin dari pemerintah, begitu juga tema dan konten dakwahnya tidak harus sejalan dengan Mazhab yang dianut oleh pemerintah, karena memang pemerintah tidak menentukan Mazhab resmi yang dianut oleh Negara, sekalipun umat Islam Indonesia mayoritas pengikut Mazhab Syafi’i dan beraliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Sampai begitu bebasnya, orang gila dan sakit jiwa pun bebas bicara seenaknya mengatas-namakan agama; mengaku bisa mengatur Allah, malaikat, mengaku nabi, semua bisa selesai hanya dengan menyebut namanya. Herannya dapat panggung, dielu-elukan kedatangannya, sekalipun tidak ada tanda-tanda keulamaan di wajahnya, penampilannya dan cara bicaranya, tetapi masih saja ada yang percaya dan mendukungnya dan meyakini bahwa dia bisa menyelamatkan pengikutnya dari api neraka, karena dia sendiri yang akan menjaga neraka itu nantinya.
Sebenarnya di Indonesia ada UU No 1/PNPS 1965 yang mengatur tentang aliran sesat di mana salah satu tugas pokoknya adalah mengawasi munculnya aliran keagamaan yang menyimpang dari aslinya. Kondisi ini sering dijumpai di Indonesia, maka dibuatnya undang undang yang mengatur aliran sesat.
Berkaitan dengan pengawasan aliran sesat dan menyimpang ini dijelaskan dalam UU Kejaksaan sebagai berikut:
- Dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang UU Kejaksaan Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e, berbunyi: “Kejaksaan mempunyai tugas dan kewenangan dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum dalam penyelenggaraan kegiatan pengawasan kepercayaan, yang dapat membahayakan masyarakat dan negara dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama”
- Peraturan Jaksa Agung RI No: PER – 019/A/JA/09/2015 tentang tim koordinasi pengawasan aliran kepercayaan dan aliran keagamaan dalam masyarakat dan mewujudkan manajemen tim Pakem yang terintegrasi, tertib, terarah, dan akuntabel.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai mitra strategis pemerintah dalam bidang keagamaan Islam bertugas untuk memberikan keputusan atau fatwa yang menyatakan bahwa suatu aliran atau kepercayaan di dalam Islam dipandang sesat dan menyimpag. Sebagai salah satu contoh; MUI pernah memfatwakan bahwa Islam Jama’ah atau sekarang lebih dikenal dengan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) adalah aliran sesat dan menyimpang, karena kelompok ini mengkafirkan orang-orang Islam di luar kelompoknya, dan menghukum mereka sebagai najis.
Sekarang mereka sudah memiliki paradigma baru, tetapi statusnya masih sebagai kelompok yang berada dalam pembinaan MUI, karena sebagian besar jama’ah mereka masih ada yang bersikap konservatif dan tetap dalam pandangan dan keyakinan yang lama, dan belum mau berbaur dalam pelaksanaan ibadah dengan kelompok lain (eksklusif) dan sebagian sudah ada yang bersikap moderat dan inklusif.
Sebagai aktifis di Muhammadiyah dan juga di Majelis Ulama Indonesia saya mengusulkan agar UU yang berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan aliran sesat dan menyimpang ini diaktifkan kembali, sehingga aliran sesat dan menyimpang ini dapat ditertibkan, karena bila dibiarkan akan berpotensi menimbulkan konflik dan perpecahan yang dapat mengganggu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian disampaikan secara terbuka kepada semua pihak terkait, agar menjadi perhatian untuk ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Wallahu a’lamu Bish-shawab. Nashrun Minallahi Wafathun Qarieb
(Hidayatullah)