Situasi pandemik sendiri akan mempercepat dominasi Islam di Indonesia. Anatomi kekuasaan saat ini, yang didukung oligarki dan kelompok pragmatis, sulit bertahan lama karena dampak ekonomi pandemik coronavirus telah menghancurkan ekonomi negara. Kemiskinan dan pengangguran ke depan akan memunculkan “social unrest” yang tidak mungkin dikendalikan sebuah kekuasaan yang tidak dekat dengan rakyat.
Persoalannya apakah Islam akan menjadi tafsir tunggal atas Pancasila ke depan akan menjadi pertanyaan besar. Pada tahun 2016, saya menyarankan Rachmawati Soekarnoputri menjalin hubungan akrab dan sinergis dengan kekuatan ulama (Habib Rizieq Shihab) agar tafsir Pancasila tetap dimiliki bersama. Artinya Pancasila bisa sebagai Philosophische Grondslag bukan ideologi. Namun, semua ini tergantung bagaimana arah sejarah ini dikendalikan. Jika mengikuti sejarah Iran, di mana kelompok nasionalis di sana merasa angkuh terhadap kelompok Islam, maka kaum Islam Syiah menentukan sendiri kemenangannya.
Pertarungan ideologi Islam vs. Anti Islam sudah manifest saat ini. Aksi Revolusioner umat Islam telah terjadi Rabu, 24 Juni lalu. Mereka bukan saja menghilangkan rasa takut atas kekuasaan sebuah rezim, namun mereka telah melawan ketakutan atas coronavirus. Hal ini persis terjadi seperti di Hongkong, ketika rakyatnya melawan RRC dan persis seperti di Amerika, gerakan “Black Lives Matter”.
Reaksi terhadap aksi ini jelas juga. Kekuatan anti Islam dan kelompok nasionalis bahkan terindikasi Komunis, juga telah turun ke jalan. Selama ini memang keterbelahan bangsa (devided society) sudah terjadi. Namun, perang saudara hanya pernah terjadi tahun 65/66 antara Islam melawan Komunis.
Ideologi Islam pada saat ini menguasai akar rumput alias rakyat (kecuali di Jateng) karena gerakan mereka menjanjikan bangsa yang makmur dan adil, bukan sekedar makmur buat segelintir orang. Permusuhan yang diperlihatkan Habib Rizieq dan para ulama atas dominasi ekonomi segelintir taipan dan 9 naga di atas penderitaan seratusan juta rakyat miskin, menunjukkan sisi perjuangan mereka. Sebaliknya, rezim kekuasaan, yang mempertahankan kapitalisme dan persekongkolan dengan oligarki modal telah memporak-porandakan klaim sejarah Marhaenisme dan bahkan Komunisme, yang di masa lalu adalah di garda depan melawan kapitalis dan ketidak adilan. Sehingga, saat ini, rezim kekuasaan kesulitan meyakinkan rakyat atas klaim keberpihakannya.
Pertarungan ini semakin mengerikan di saat negara dipastikan tidak mampu menopang perekonomian nasional lagi. Masa pandemi yang panjang serta pertolongan ekonomi RRC dan lainnya tidak mungkin datang, membuat kekuasaan yang berbasis kooptasi negara akan gagal melakukan upaya konsolidasi eksistensinya.
Dengan demikian, nasib bangsa ini ke depan sangat tergantung bagaimana kelompok sosial di masyarakat mencari jalan tengah atau membiarkan arah revolusioner membimbing nasib bangsa. (*end/glr)
Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan