– Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja.
– Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reforma agraria.
– Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
– Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.
Jika dicermati ketujuh tuntutan tersebut, bersinergi dengan tuntutan Mahasiswa di Jakarta yaitu “Mosi tidak percaya kepada DPR”. Mereka akan terus berdemonstrasi di DPR yang rencananya akan mengadakan 3 kali Sidang Paripurna sebelum periode mereka berakhir September 2019.
Eskalasi suhu politik yang tinggi, juga semakin memanas dengan pembakaran kantor Bupati di Wamena oleh para pelajar Papua. Apalagi persoalan ekonomi yang masih sangat berat, juga dapat menjadi pemicu.
Tetapi yang tidak kalah pentingnya, adalah apakah dalam situasi suhu politik yang memanas ini, tidak ada elite partai, politisi, elite pemerintah, dan juga para Jenderal purnawirawan yang ikut bermain, mengepung Presiden, dalam upaya mendapatkan kue kekuasaan. Baik jabatan menteri, kepala lembaga negara, lembaga pemerintahan, dan posisi stretegis lainnya.
Indikasi adanya strategi para elite dalam berbagai gerakan mahasiswa, antara lain adalah tidak terlihat tindakan represif Polisi atas berbagai demonstrasi yang berlangsung sampai malam hari.
Berbeda dengan demonstrasi 21-22 Mei 2019 di Bawaslu yang lalu, Brimob turun langsung dengan senjata lengkap. Letusan senjata dan petasan, lemparan batu bersahutan. Ratusan demonstrans ditangkap. Para elite nya dipanggil Polisi dengan tuduhan makar dan memiliki senjata api ilegal. Situasi mencekam. Setiap hari ada siaran pers dari Kepolisian melaporkan perkembangan keadaan kepada media.
Hari-hari ini, gerakan demonstrasi mahasiswa ke DPR dan di beberapa kota besar, tidak ada kita dengar Siaran Pers dari Kadiv. Humas Polri, apa ada yang luka-luka, apa ada yang ditemukan bawa batu, bom molotov, dan selongsong peluru.
Mudah-mudahan hal tersebut menunjukkan kondisi yang kondusif. Demonstrasi masih tertib. Tuntutan jelas yaitu “Mosi tidak percaya kepada DPR” , bukan kepada lembaga lainnya he…he… . Karena DPR ya silahkan, karena mereka memang wakil rakyat, dan dulunya mereka juga adalah para demonstrans atas nama reformasi 17 tahun yang lalu. Sekali lagi sejarah berulang.
Perkembangan situasi mendatang
Sebagaimana kita ketahui, 1 Oktober 2019 adalah pelantikan anggota DPR/MPR/DPD baru, walaupun 50,26% masih wajah lama, tetapi tentu suasana dan dinamika iklim baru akan terasa. Dimulai dengan pemilihan Pimpinan DPR dan MPR, pimpinan Komisi-Komisi dan badan kelengkapan DPR/MPR dengan saling tarik-menarik antara partai akan mencuat ke permukaan. Diduga partai pendukung Jokowi akan terbelah. Dan bukan tidak mungkin partai lawan Jokowi berkolaborasi dengan partai pendukung Jokowi. Banyak hal dapat terjadi. Namanya politik. Dalam politik tidak ada teman yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi.
Bulan Oktober 2019, merupakan bulan yang mendebarkan bagi mereka pemburu kekuasaan. Bukan tidak mungkin situasi akan semakin memanas dengan tuntutan mahasiswa terkait dengan UU KPK yang baru yang terus bergulir, dan juga Mosi tidak percaya yang ditujukan kepada anggota DPR yang baru, yang terasa hambar di mata mahasiswa.
Puncaknya adalah pelantikan Presiden Jokowi, 20 Oktober 2019, diikuti satu atau dua hari dengan pengumuman Kabinet. Bukan tidak mungkin juga pengumuman Kabinet jika tidak kredibel, menjadi amunisi baru bagi mahasiswa untuk berdemonstrasi.
Pemerintah tentu tidak berkeinginan proses pelantikan Presiden Jokowi menjadi terganggu. Antara lain dengan menunda pengesahan 4 RUU yang telah disampaikan langsung oleh Jokowi. Upaya relaksasi ini, diharapkan dapat mendinginkan suhu politik. Tetapi Presiden Jokowi terlambat. Karena RUU KPK sudah disetujuinya. Mungkin Jokowi yakin aman, setelah mendapatkan masukan dari intel-intel disekitarnya. Tetapi ada yang menganalisis bahwa RUU KPK tersebut juga sesuai keinginan Presiden Jokowi yang ingin tetap aman, tidak “diganggu” KPK selama menjadi Presiden 5 tahun mendatang. Nasi sudah menjadi bubur. Pemerintah harus dengan bijak menghadapi situasi sekarang ini.
Pergerakan mahasiswa di tiga kota Jakarta, Bandung, dan Yogya jangan dianggap sepele. Jika dicermati dari berbagai media malam ini, pergerakan mahasiswa dari Bandung mulai bergerak menuju Jakarta ke gedung DPR. Mereka mungkin bercita-cita melahirkan sejarah Reformasi Jilid II.
Penulis: Chazali H. Situmorang,
Cibubur, 23 September 2019 (*end/gelora)