Eramuslim.com – JUDUL ini tentu bukan berita di Indonesia yang masih penuh dengan kegelisahan bahkan kegoncangan akibat undang undang yang “memakan semua” omnibus law. Aksi unjuk rasa belum ada tanda berakhir. Masyarakat belum puas dengan berbagai klarifikasi tentang “hoaks” bahkan tindakan “tegas”.
Adalah Presiden Kyrgyzstan, Sooronbay Jeenbekov yang baru saja mengundurkan diri akibat unjuk rasa akibat sengketa pemilihan anggota parlemen 4 Oktober 2020. Presiden Jeenbekov mengundurkan diri dengan mempertimbangkan kebaikan negara dan tidak mau mengorbankan rakyat yang tersakiti.
“Saya tidak bergantung pada kekuasaan. Saya tidak ingin turun dalam sejarah Kurzystan sebagai Presiden yang membiarkan pertumpahan darah dan penembakan terhadap rakyat. Saya telah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri,” demikian ungkapan dilansir Al Jazeera 15 Oktober 2020.
Kepemimpinan yang berpikir kebaikan ke depan tentu terpuji apalagi dengan keyakinan bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya.
“Mempertahankan kekuasaan tidak sebanding dengan integritas negara dan kesepakatan dalam masyarakat” kata Jeebenkov.
Unjuk rasa rakyat adalah suara kebenaran dan keadilan, bukan sasaran lawan dari kekuasaan. Substansi yang diperjuangkan senantiasa pada aspek kecurangan, keculasan atau kesewenang-wenangan. Juga berkisar pada moralitas politik, hukum, dan ekonomi yang diabaikan.
Pada November 2019 yang lalu, Presiden Bolivia, Evo Marales juga mengundurkan diri setelah unjuk rasa rakyat Bolivia yang datang bergelombang. Akhirnya dengan “terbirit-birit” ia lari meminta suaka ke Mexico City. Kekuasaan tak mampu dipertahankan dengan modal kekerasan.